Sesrawungan #1: Wang Sinawang yang PKKH UGM selenggarakan adalah sebuah prakarsa untuk menyediakan ruang perjumpaan dan perbincangan mengenai ide-ide abstrak–yang pada kesempatan kali ini memilih tema tentang keyakinan dan keimanan dalam beragama
Acara berlangsung mulai 16 November hingga 30 November 2016.
Semua acara gratis dan terbuka untuk umum.
Rangkaian acara sebagai berikut:
Rabu, 16 November 2016
Pembukaan Sesrawungan #1: Wang Sinawang
oleh Faruk (Kepala PKKH UGM)
Pukul 19.00–21.00 WIB
Galeri PKKH UGM
Kamis, 17 November 2016
Pertunjukan Buddha Matrieya
Pertunjukan Narayana Smrti Ashram
Pukul 19.00–22.00 WIB
Hall PKKH UGM
Sabtu, 19 November 2016
Presentasi komunitas Seni Rupa Kristen Indonesia (Seruni)
Pukul 15.30–17.30 WIB
Galeri PKKH UGM
Minggu, 20 November 2016
Presentasi Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit (Wayang Wahyu)
Pukul 15.30–17.30 WIB
Galeri PKKH UGM
Senin, 21 November 2016
Presentasi Khilafah Arts Network
Pukul 19.30–21.30 WIB
Galeri PKKH UGM
Selasa, 22 November 2016
Presentasi MATAKIN (Majelis Tinggi Agama Khonghucu)
Pukul 15.30–17.30 WIB
Galeri PKKH UGM
Rabu, 23 November 2016
Seminar Sesrawungan #1: Wang Sinawang
Pembicara: Hairus Salim, Sita Magfira, Nasarius Ardhani Sudaryono
Pukul 15.30–17.30 WIB, di Hall PKKH UGM
Seminar ini merupakan presentasi hasil observasi dari tiga pembicara yang memiliki latar belakang akademisi dan/atau praktisi pertemuan-pertemuan lintas agama selama acara Sesrawungan #1: Wang Sinawang berlangsung. Tujuannya sebagai forum untuk membicarakan kemungkinan dialog, tantangan dan hambatan dalam mempertemukan kelompok sosial berbasis keagamaan yang berbeda-beda.
Dalam setiap presentasi oleh tiap-tiap kelompok agama, akan diikuti dengan diskusi perihal materi yang dipresentasikan pada saat itu.
Sebagai penutup rangkaian acara, pada Rabu, 23 November 2016 akan diselenggarakan seminar, yang akan mempresentasikan catatan-catatan yang disusun oleh Tim Observer yang PKKH undang secara khusus untuk mengikuti seluruh proses perjumpaan dan perbincangan selama kegiatan berlangsung.
*****
Pengantar tentang Sesrawungan
oleh Faruk (Kepala PKKH UGM)
Persoalan pluralisme di Indonesia masih merupakan persoalan yang mendesak untuk dibahas dan dicarikan cara aktualisasinya yang diperkirakan akan relatif efektif. Memang, sudah begitu banyak usaha-usaha yang demikian. Bahkan, Indonesia sendiri, sebagai sebuah negara, sudah menetapkan semacam pluralisme di dalam dasar negaranya. Selain itu, sudah ada pula semacam kegiatan simbolik yang berupa pengangkatan Gus Dur sebagai Bapak Pluralisme Indonesia. Meskipun demikian, sebagaimana yang kita maklumi bersama, paham di atas masih merupakan paham yang abstrak, yang tidak sepenuhnya membumi, teramalkan dan terhayatkan dalam relasi sosial sehari-hari masyarakat.
Dalam perkembangan mutakhir, yang terjadi sesudah tumbangnya rezim Orde Baru, melemahnya negara, bangkitnya masyarakat sipil, persoalan yang semulanya termarginalkan oleh isu penindasan negara, kemudian justru menjadi sentral. Toleransi bisa dikatakan sebagai jantung dari pluralisme, yang membuat pluralisme itu hidup. Namun, banyak kegiatan atau usaha untuk membangun pluralisme di Indonesia di atas cenderung tidak berangkat dari pengertian dasar dari toleransi itu. Bila pengertian dasar dari toleransi adalah kesediaan, kemampuan, dan keikhlasan untuk mengakui dan menerima perbedaan, usaha-usaha yang biasanya dilakukan justru cenderung menyembunyikan perbedaan dengan mencari persamaan, titik temu, wilayah abu-abu, dan sejenisnya.
Kecenderungan yang serupa itulah yang membuat PKKH merasa perlu untuk mencari cara lain untuk tujuan yang serupa, yaitu mempertemukan kelompok-kelompok sosial dan keagamaan yang secara tajam memperlihatkan perbedaan tanpa usaha untuk mencari ide-ide kesamaan yang diasumsikan dapat mempertemukan keduanya. Dengan acara ini, PKKH hanya bermaksud menghadirkan ekspresi-ekspresi kesenian dari kelompok-kelompok yang dikenal eksklusif itu ke hadapan diri mereka sendiri satu-sama lain secara langsung. Dalam pengertian demikian, acara ini dapat dianggap sebagai karnaval tempat berbagai suara dapat didengar tanpa harus disatukan atau disamakan. Walaupun, tentu saja, PKKH juga memfasilitasi kemungkinan dialog antarkelompok sesuai dengan kehendak mereka sendiri. PKKH beranggapan kecemasan akan kehadiran yang lain, perasaan terancam, dan sebagainya, justru akan berlangsung lebih besar dan lebih lama ketika yang lain itu hidup hanya dalam imajinasi. ***
Pengantar dari Tim Artistik Sesrawungan #1: Wang Sinawang
oleh Brigitta Isabella, Ibed Surgana Yuga, S. Arimba
Bagaimana cara kita menghadapi perbedaan? Pertanyaan ini sering muncul dalam diskusi-diskusi awal saat merumuskan posisi Sesrawungan di tengah kenyataan hidup masyarakat Indonesia yang memiliki latar belakang majemuk. Sesrawungan dibayangkan oleh PKKH UGM sebagai seri pertemuan-pertemuan berbagai kelompok sosial dengan menggunakan seni sebagai jembatan.
Persepsi kita tentang orang lain, selama ini, seringkali hanya berdasar pada praduga, untuk tidak menyebut hanya sebatas tebakan. Persepsi semacam itu seringkali lahir dari informasi yang sepotong-sepotong dari sumber kedua, ketiga, dan seterusnya. Kita tidak pernah dengan sungguh-sungguh mengetahui the other, sang liyan itu, dari sumber aslinya. Proses demikian menciptakan stereotip buruk atau bahkan fobia terhadap orang lain yang berbeda.
Percobaan Sesrawungan yang pertama, Wang Sinawang, dirancang sebagai ruang yang mempertemukan ide-ide abstrak berupa keyakinan dan keimanan dalam beragama. Wadah pertemuan yang dibangun Wang Sinawang ingin menjadi ruang untuk sejenak menanggalkan prasangka dan menunda asumsi. Wang Sinawang kami artikan sebagai tindakan saling melihat: membuka diri untuk dilihat orang lain dan menyediakan waktu untuk melihat orang lain. Tujuannya, agar ada interaksi resiprokal dalam memahami perbedaan-perbedaan keyakinan dan keimanan antara satu sama lain.
Kami berangkat dari kenyataan bahwa masyarakat Indonesia selalu dan masih terdiri dari beragam suku, agama, ras dan golongan. Di sini, kami tidak ingin menyatukan atau mencari persamaan dari perbedaan-perbedaan ini. Sensitivitas terhadap isu SARA yang dibangun rezim Orde Baru telah berupaya menyatukan perbedaan di bawah ideologi negara dan justru membuat kita tidak lagi berani membicarakan perbedaan. Akan tetapi kami juga tidak ingin mengukur atau menimbang mana di antara perbedaan ini yang lebih benar dan lebih salah. Kami hanya ingin bertemu, berbicara dan melihat apa yang kira-kira berarti untuk dipelajari dari pertemuan ini.
Tiap-tiap agama tentu memiliki klaim kebenarannya. Secara tidak langsung mereka membangun tembok-tembok teologis yang mengukuhkan kepercayaan. Beberapa tembok dibangun tinggi-tinggi sehingga yang di dalam maupun di luar sama-sama tidak bisa saling melihat. Beberapa tembok dibangun rendah tapi dengan kawat berduri sehingga tidak bisa dilompati dengan mudah. Untuk menghadap-hadapkan tembok-tembok ini, kami mempertemukan berbagai bahasa ungkap tiap-tiap agama dalam merepresentasikan keyakinan dan keimanannya. Tembok-tembok yang ada ini kami ketengahkan sebagai tirai-tirai, yang meskipun dibuat untuk menutupi dan membatasi, masih dapat ditengok dan disibak untuk melihat ke luar sekaligus ke dalam.
Dalam acara Wang Sinawang, kami bekerja sama dengan enam komunitas berbasis agama yang tidak sekedar kami pilih untuk merepresentasikan enam agama yang diakui pemerintah. Justru, kami menyadari bahwa perbedaan dan persinggungan tidak hanya berlangsung antar-agama tapi juga inter-agama. Enam komunitas yang terlibat akan mempresentasikan cara mereka mengungkapkan keimanan melalui seni rupa, sastra dan pertunjukan. Beberapa di antara komunitas ini memiliki latar belakang pendidikan seni dan menjadikan seni sebagai media untuk menampilkan keyakinan mereka. Sementara, beberapa yang lain mempraktikkan seni sebagai bagian dari ritual keagamaan. Meski berbeda, keduanya sama-sama beririsan dalam hal menjadikan seni sebagai bahasa ungkap dalam beragama dan di sini, seni akan menjadi jalan masuk untuk pertemuan dan pembicaraan antar komunitas.
Dengan bersama-sama membuka tirai untuk saling melihat ke luar dan ke dalam, Wang Sinawang ingin mengupayakan sebuah ruang untuk saling mengenal, bertemu dan berbicara. Menyediakan waktu dan tempat untuk mencecap sedikit kemewahan yang sulit didapat di tengah tembok-tembok perbedaan yang ada di antara kita. ***
Profil Observer Sesrawungan #1 PKKH UGM
Hairus Salim
Pengurus Yayasan Tikar Seni Budaya Nusantara (Bandung) yang di antaranya menerbitkan majalah Gong (Yogyakarta) dan Direktur Eksekutif Yayasan LKiS, Yogyakarta. Meneliti dan menulis masalah-masalah agama, kebudayaan, dan politik kebudayaan. Menulis, menyunting, dan menerjemah sejumlah buku. Tulisan-tulisannya dimuat di sejumlah media. Selain itu, sesekali juga diminta mengajar secara ‘luarbiasa’ di Universitas Sanata Dharma, Atma Jaya, dan UGM, Yogyakarta.
Nasarius Ardhani Sudaryono
Pegiat seni pertunjukan dan dialog kemajemukan. Pernah aktif di Interfidei dan Komunitas Tikar Pandan. Sekarang menjadi animator Komunitas Wiridan Sarikraman.
Sita Magfira
Lahir di Palu, 1991. Ia mendapat gelar sarjana sastra dari Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta. Pernah mengikuti lokakarya kritik seni rupa dan budaya visual yang diadakan oleh ruangrupa (2011) dan lokakarya kurator muda yang diadakan oleh Japan Foundation. Menjadi salah satu peserta dalam program Run and Learn: New Curatorial Constellation yang diadakan oleh Japan Foundation dan mendapat hibah dari lembaga kebudayaan tersebut untuk proyek kuratorial pertamanya Jinayah/Siyasah: Playing with Boundaries (2015) di mana ia mengajak tiga seniman untuk bekerjasama dengan tiga komunitas Islam dalam proyek seni tersebut. Presentasi akhir dari proyek tersebut adalah pameran yang berlangsung di kompleks Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta. Saat ini ia bekerja sebagai penulis dan kurator lepas sambil sesekali terlibat dalam proyek penelitian terkait seni dan budaya.
Profil Peserta Sesrawungan #1: Wang Sinawang
Buddha Maitreya sebagai kelompok keagamaan mulai ada di Yogyakarta sejak tahun 1969 dengan berdirinya Vihara Bodhicitta Maitreya di tengah jantung Kota Yogyakarta. Doktrin utama dalam ajaran Buddha Maitreya yaitu Kasih. Hal ini sesuai dengan nama Maitreya yang berasal dari kata ‘Maitri’ dalam bahasa Sanskerta yang artinya Cinta Kasih Semesta. Dharma Kasih inilah yang menjadi pengamalan umat Buddha Maitreya yaitu menjadikan Senyuman Kasih dan Tutur Kata Kasih sebagai kunci sukses dalam berhubungan dengan sesama; Jiwa Kasih sebagai teknik pembinaan batin dan pengendalian pikiran; Perilaku Kasih sebagai pedoman budi pekerti dan akhlak. Puncak kesempurnaan pembinaan diri yang berlandaskan kasih adalah Kebahagiaan Semesta. Melalui semangat Budaya mengasihi alam semesta, membangun Peradaban yang menjunjung martabat hidup semua kehidupan, mengembangkan Nilai Hidup yang meyakini bahwa hidup sebagai manusia adalah tak ternilai, dan mengamalkan moralitas dunia satu keluarga, semua umat Maitreya membantu mewujudkan Dunia Harmonis, Damai, dan Bahagia.
Khilafah Arts Network (KHAT) merupakan jejaring seniman Muslim yang jangkauan keanggotaannya terbuka pada lingkup internasional. Seniman yang terlibat berasal dari berbagai bidang seni, seperti: seni murni, desain, kriya, arsitektur, fotografi, musik, pertunjukan, film, sastra, maupun lainnya. Selain itu, keterlibatan pewacana seni maupun profesional yang dapat mendukung kerja seniman juga dimungkinkan. Karya seni yang dihadirkan KHAT menggunakan tiga parameter. Pertama, proses penciptaan maupun karya yang dihasilkan tidak bertentangan dengan hukum atau fiqih Islam. Kedua, karya yang ditampilkan mendukung opini penegakan Khilafah atau penerapan Syariah. Ketiga, karya seni yang dipilih dipertimbangkan bernilai artistik.Secara umum, landasan estetis KHAT adalah ‘seni untuk ibadah’. Kaidah ini berdasarkan al-Quran surat az-Zariyat ayat 56, “Wama kholaqtul jinna wal insa illa liya’budun (Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku).” Karena tujuan kehidupan umat Muslim adalah beribadah, maka tujuan berkesenian seniman Muslim juga untuk beribadah.
MAKIN (Majelis Agama Khonghucu) Khonghucu dikenal pula sebagai Ji Kauw (dialek Hokkian) atau Ru Jiao (Huayu), yang berarti agama yang mengajarkan kelembutan atau agama bagi kaum terpelajar. Agama ini sudah dikenal sejak 5.000 tahun lalu. Nabi terakhir sekaligus terbesar dalam agama Khonghucu adalah Kongzi (Huayu) atau Khongcu (dialek Hokkian) atau Confucius (Latin) adalah nama. Beliau lahir tanggal 27, bulan 8, tahun 0001 Imlek atau 551 SM. Kitab suci agama Konghucu sampai pada bentuknya yang sekarang mengalami perkembangan yang sangat panjang. Kitab suci yang tertua berasal dari Yao (2357-2255 SM) atau bahkan bisa dikatakan sejak Fu Xi (30 abad SM). Yang termuda ditulis cicit murid Kongzi, Mengzi (wafat 289 SM), yang menjabarkan dan meluruskan ajaran Kongzi, yang waktu itu banyak diselewengkan. Kitab suci yang berasal dari Nabi Purba sebelum Kongzi, ditambah Chunqiujing (Kitab atau Catatan Jaman Cun Ciu/Musim Semi dan Musim Rontok) yang ditulis sendiri oleh Kongzi, sesuai dengan wahyu Tian, kemudian dihimpun Kongzi dalam sebuah Kitab yang disebut Wujing. Dalam Sesrawungan kali ini komunitas Khonghucu diwakili oleh MAKIN (Majelis Agama Khonghucu Indonesia) Surakarta dan Yogyakarta.
Narayana Smrti Ashram adalah sebuah ashrama Hindu sederhana yang terletak di pinggir timur laut kota Jogja, tepatnya beralamat di Jl. Sudarsan Chakra No.3 Maguwoharjo Yogyakarta yang diresmikan pada tanggal 21 Februari 2003 oleh Bhakti Raghava Swami (Real L. J. Gagnon), seorang sanyasin/guru kerohanian yang berasal dari Ontario, Canada. Sebagai sebuah sistem parampara, Narayana Smrti berada di bawah naungan Gaudya Vaisnava yang merupakan cabang perguruan Veda dari Brahma Sampradaya. Di Indonesia Gaudya Vaisnava yang juga tergabung dalam The International Society for Krishna Consciousness (ISKCON) sering kali disebut sebagai disebut aliran Hare Krishna. Namun di dunia Barat garis perguruan Gaudya Vaisnava ini lebih dikenal dengan sebutan Modern Hindu. Saat ini, disamping berfungsi sebagai temple dan lembaga pendidikan filsafat Veda, ashrama kami juga difungsikan sebagai tempat studi lintas agama. Tidak jarang beberapa umat agama lain seperti dari UIN Sunan Kali Jaga, Seminari Katolik Kentungan dan beberapa pesantren ikut belajar, berdiskusi dan berdebat filsafat di sini.
Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit berawal dari sebuah semangat untuk membangkitkan kembali salah satu jenis wayang kulit menceritakan isi Al-Kitab yang keberadaannya tidak banyak diketahui masyarakat luas. Bermodal semangat dan tekad mulai mewujudkan dengan dibantu oleh beberapa pengrajin
wayang kulit, kami mulai membuat contoh karakter wayang kulit Yesus Kristus. Dirasa belum cukup dalam hal wayang kulit wahyu, kami berinisiatif untuk
memulai dibentuk suatu kelompok yaitu terwujudnya pagelaran wayang wahyu. Dengan melibatkan generasi muda di dalam pagelaran tersebut, diharapkan akan berdampak positif bagi Dusun Kanutan secara khusus dan masyarakat luas secara umum. Gagasan dibentuknya Sanggar Seni Budaya Bhuana Alit pada dasarnya yaitu untuk mengembangkan kebudayaan, agar semua pihak tergugah bahwa budaya adalah akar kekuatan dan pondasi untuk menyongsong masa depan yang berjati diri. Juga berkreasi sambil mendidik generasi muda
dan menyebarkan toleransi dalam bermasyarakat, membuka jalan ke arah hidup beriman kepada Tuhan.
Seni Rupa Kristen Indonesia (Seruni) hadir di tengah situasi krisis ekonomi dengan ditandai oleh lemahnya daya beli masyarakat dalam mengkonsumsi produk-produk seni rupa. Tim inti Seruni berani menyikapi untuk menciptakan pasar dari pada menunggu pasar dengan membuka galeri sendiri di Ruko Frankfurt Blok C No. 7, Gading Serpong, Tangerang sejak medio 2015. Berlandaskan iman kristen tim Seruni percaya ada harapan akan penyertaan Tuhan dalam memperluas serta menumbuhkan seni rupa Kristen. Seruni punya misi untuk mempromosikan karya-karya seni lukis, grafis seni, patung, desain produk, serta merchandise-interior. Seruni percaya lewat kreativitas seni yang dianugerahkan Tuhan, perupa dimampukan untuk berani menjawab tantangan menciptakan minat pasar seni rupa serta dimampukan untuk membangkitkan nilai-nilai kebaruan-keindahan-teologis dalam ungkapan karya-karya seni rupa. Selain itu, semangat menggemakan seni rupa Kristen adalah kesempatan dalam memperkaya ragam seni budaya bangsa dan membangun kehidupan harmonis dalam menyikapi sentimen keagamaan yang memunculkan resistensi fundamentalisme serta primordialisme. Jika agama melayani kerohanian melalui norma dan ajaran moral, maka seni melayani dengan refleksi nilai keindahan, tragedi, serta meramu kerumitan atas pengalaman hidup melalui imaji kreatif.