PENTAS SENI DAN BUDAYA PKKH UGM
Mempersembahkan: “MELINTAS: Menyudutkan yang Tak Bersudut”
Rabu, 11 November 2015 Pukul 19.30 WIB-selesai
Di Hall PKKH UGM Jln. Pancasila, Bulaksumur, Yogyakarta 55281
Acara ini terbuka untuk umum dan gratis!
Menyusun arsip karya tari sebagai peristiwa ketubuhan memang dilematis. Oleh karena sifat-sifat kelekatan dengan konteks ruang dan waktu penciptaan dan presentasinya, itu tidak cukup hanya diwakili oleh dokumentasi foto-foto dan bahkan video. Langkah preservasi seperti yang diperjuangkan di dalam tari tradisi dengan cara mereproduksi dan menubuhkannya kembali juga tidak bisa menjamin keutuhan konteksnya. Laju percepatan perubahan ruang dan waktu di dalam konteks kehidupan sosial budaya yang tak mungkin ditahan, terus menerus memproduksi tubuh-tubuh baru. Bersamaan dengan hal itu, puluhan koreografer lahir dari tiap-tiap generasi menghasilkan ratusan karya-karya tari. Tidak semua dari karya-karya itu terekam jejaknya. Yang ‘tak tercatat ‘atau bahkan yang sudah ‘tak diingat’ kemudian hanya menjadi gerak yang sekedar mengisi bidang-bidang tak bersudut tubuh para penarinya, dan sulit untuk menjangkau dan mengisi ruang sosialnya. Kesadaran tersebut di atas semakin mempertegas bahwa karya tari sebagai peristiwa ketubuhan memang tidak bisa dipotret secara spasial.
Menyikapi persoalan itu sebagai sebuah tantangan, PKKH UGM dan Indonesian Dance Festival bekerja sama untuk menyusun sebuah proyek eksperimentasi penandaan dan pembacaan kembali titik-titik koordinat perkembangan tari di Indonesia dengan tajuk “Melintas: Menyudutkan yang Tak Bersudut”. Proyek ini dipresentasikan kepada khalayak dalam format konvensional berupa pertunjukan tari, dimana 3 karya dari 3 koreografer lintas generasi akan dihadirkan di dalam satu panggung yang sama. Aspek-aspek sejarah, konteks penciptaan, dan konsep artistik juga akan turut didedah melibatkan partisipasi aktif pemirsa melalui sesi diskusi.
Bagong Kussudiardja “Layang-layang”
Ia lahir di Yogyakarta pada 9 Oktober 1928, meninggal di Yogyakarta, 15 Juni 2004. Nama, karya-karya, serta gagasan-gagasan pentingnya mengenai tari, relasi seni dan masyarakat, dan kebudayaan secara luas banyak dinarasikan di dalam wacana sejarah tari Indonesia. Karya tari Layang-layang menjadi menanda penting sebagai salah satu pencapaian artistik dalam fase eksperimentasi pada masa mudanya. Tentu saja pada masa itu, kehadiran karya ini menuai tegangan pro dan kontra di kalangan pemangku kepentingan tari di Yogyakarta. Karya ini diciptakan pada tahun 1954 dan disempurnakan seusai lawatan studinya pada Martha Graham seorang koreografer legendaris yang mendobrak kovensi tari ballet klasik di Amerika. Konon tidak ada data fisik yang memadahi sebagai pijakan untuk merekonstruksi kembali karya ini. Namun, dengan melakukan penggalian terhadap beberapa lembar foto, ingatan dua orang yang pernah belajar langsung dari sang koreografer, dan cerita orang-orang yang pernah menyaksikan pertunjukan tari tersebut; para penerusnya di PLT (Pusat Latihan Tari Bagong Kussdiardja) akhirnya mampu menghadirkan karya tari tersebut kembali melalui tubuh penari lain.
Hanny Herlina “Touch”
Hanny lahir di Jakarta, 1 Desember 1976. Ia belajar tari Sunda pada usia 6 tahun. Kecintaannya pada seni tari menuntun jalannya untuk menempuh studi formal di SMKI Bandung dan Institut Kesenian Jakarta. Tak hanya itu saja,untuk memperluas cakrawala pengetahuan dan kefasihan tubuh tari, ia pun memberlangsungkan proses belajarnya di luar kampus; mengikuti workshop koreografi, terlibat di dalam berbagai proyek penciptaan tari, melakukan eksplorasi bentuk tari topeng Indramayu di bawah bimbingan Wangi Indria dan ibu Rasinah, dsb. Berkat intensitas eksperimentasi yang tak pernah usai di sepanjang kekaryaannya, ia menerima Hibah Kelola pada tahun 2005, dimana ia menciptakan dua karya Saloka dan There Inside keduanya tari topeng yang dipertunjukkan di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Kali ini, Hanny akan mempresentasikan karya tarinya “Touch”, dimana ia kembali melakukan eksplorasi dengan pendekatan relasional tubuh dengan bunyi. Ia merujuk secara khusus bunyi yang ia selami, yakni musik Nirvana (Toshi Tsuchitori meet Sardono WK, Kyoto Theater, Jepang 13 Sept 2014).
Ari Ersandi “Pintu Menusia”
Ari lahir di Lampung pada tahun 1989. Pendiri DELAPAN studio dan telah menyelesaikan studi penciptaan tari di program S2 ISI Yogyakarta. Pada tahun 2012 ia menerima penghargaan Second prize, Adorable Devils Mask dance Competition South Korea. Merasa tubuhnya tidak memadahi untuk menggerakkan disiplin tari tradisi, ia melakukan eksplorasi habis-habisan untuk menemukan tradisi tubuhnya sendiri. Bisa dibilang bahwa gerak tari Ari Ersandi cukup pervesif namun di saat yang bersamaan justru khas dan cukup estetis. Karya-karya Ari cenderung bertutur mengenai keintimannya dengan diri sendiri, kesan eksistensialis baginya tidak menjadi persoalan. Mengalami tubuh di dalam waktu dan waktu di dalam tubuh menjadi sangat berharga baginya. Tubuh di dalam waktu, ia pahami sebagai bagian proses pembentukan identias dimana nama, julukan, label-label kriteria, dan nilai-nilai melekat begitu saja di dirinya tanpa bisa dipilih dan ditolak. Namun, ia menyadari bahwa terkadang ia juga sengaja mengambil label-label tertentu dan mengenakannya. Nampaknya, sampai saat ini Ari belum selesai mengkritisi identitas ketubuhannya sendiri. Melalui karya “Pintu Menusia” ia hendak melakukan uji coba yang berbeda, membaca kembali tubuhnya dengan cara bercermin pada jalinan relasi tubuhnya dengan hal-hal lain di luar dirinya.