Diskusi akan diselenggarakan pada:
Senin, 7 Desember 2015
Pukul 19.30 WIB-selesai
Di Ruang Gong
Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur
Akan hadir sebagai pembahas:
Dwi Rahariyoso (Sastrawan)
Iftitah (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)
Diskusi akan dimoderatori oleh:
Jalu Norva Ila P
Acara ini terbuka untuk umum dan gratis. Mari mengobrolkan cerpen yang bisa Anda baca sebelumnya di bawah ini, sambil minum kopi dan teh panas di PKKH UGM.
Sampai jumpa! Salam.
*****
CARA MUDAH UNTUK BAHAGIA
Cerpen Edi AH Iyubenu
Di kota kami yang selalu terlihat suram ini, setidaknya di mata kami yang lebih suka berkeliaran di malam hari daripada siang hari, hanya ada dua cara untuk bisa merasa hidup bahagia: berbuat baik pada orang lain atau berbuat baik pada diri sendiri. Dan, tentu saja, aku memilih cara kedua.
Inilah cara termudah dan termurah untuk bisa merasa hidup bahagia, Erdem! Cukup berpikir! Ya, berpikir bahagia, maka aku akan bisa merasa bahagia.
Erdem Bora, si lelaki pemurung yang jarang berbincang dengan lawan jenis kecuali Aysila Dilara yang berdagu lancip itu, mereguk kembali coffee latte-nya sambil mengerutkan kening di hadapan kata-kataku. Pesanannya selalu sama dengan pesanan Aysila. Juga untuk malam ini. Matanya adalah elang, kendati aku sendiri lebih suka menyebutnya mata burung camar yang mudah dijumpai di tepian selat Bosphorus ini, semata karena aku ingin berpikir bahwa mataku jauh lebih bagus dari matanya.
Ah, ternyata pikiran benar-benar sanggup mengubah kenyataan, bukan?
Boozcada Café: sebuah coffee shop dengan space sempit ini, milik seorang pemuda berusia 35-an asal kota Bursa, hanya menyediakan beberapa meja kecil yang dikitari kursi-kursi kecil. Jika sudah lewat pukul 11 malam, diiringi hempasan angin laut yang kencang dari selat Bosphorus, hanya akan terlihat beberapa orang yang setia menikmati kopi di bangunan berlantai dua ini. Ya, termasuk kami bertiga ini: aku, Erdem, dan Aysila. Dan, biasanya, ada dua pasang kekasih pula yang mengisi kursi-kursi di sekitaran kami; satu pasang duduk di dekat meja bartender dan satu pasang lainnya duduk di dekat jendela kaca yang sengaja dikuak setengah.
Dari kaca lebar bening yang menjadi dinding pembatas antara kafe ini dengan selat itu, kami bisa begitu leluasa menyaksikan kerlip-kerlip lampu dari daratan Eropa. Juga geliat lampu-lampu mobil dan bus pariwisata yang tengah melintas di atas jembatan Bosphorus yang tak seberapa panjang itu, yang menyatukan tanah Eropa dan Asia. Jika kau melintasi jembatan itu dari arah Istanbul ini, tepat pada aspal yang agak menurun di tengah jembatan itu, tolehkan kepalamu ke kanan, maka kau akan menemukan plang dengan tulisan “Welcome to Europe”. Sebaliknya, jika kau berangkat dari arah sana, di bagian kirimu akan terlihat sebuah plang bertuliskan “Welcome to Asia”.
Di arah tenggara dari kafe ini, kami bisa pula menatap lepas wajah Sulaiman Mosque yang menjulang dengan anggunnya. Dan, tentu saja, di bawah sana, di tepian dermaga yang menyimpan jejak-jejak tentara terbaik Al-Fatih saat menaklukkan Konstantinopel, di antara perahu dan kapal yang sandar untuk sejenak istirahat itu, kami bisa dengan mudah menemukan para sejoli yang tengah menikmati angin laut sambil berpelukan dengan hangatnya.
“Kau terlalu Cartesian, Pamuk,” suara Erdem yang khas memaksaku menoleh ke arahnya. “Kau pewaris logosentrisme Asristotelian. Apa-apa disandarkan pada kaidah logika rasional tunggal, sehingga cara pandangmu tentang hidup ini hanya bermata tunggal pula….”
“Kan tidak salah untuk memutuskan pilihan, Erdem?” sahutku sekenanya sambil mencomot french fries yang kian beku diguyur angin malam.
“Tidak salah, tapi kau seharusnya mengerti pula bahwa hidup yang selalu memuja rasio hanya akan membuatmu kehilangan makna sakralitas.”
“Wow!” seruku, kaget. Oh my God! Sumpah, baru kali ini aku mendapati sosok Erdem yang mengaku ganjil dengan segala ritual ini bicara tentang sakralitas.
“Sejak kapan kau termakan bujuk rayu sakralitas, Erdem?” Aysila terkekeh sampai bahunya yang terlindungi jaket tebal terguncang-guncang. Kalung monel dengan bandul Menara Eiffel yang selalu dikenakannya, yang kuhadiahkan padanya tahun lalu tanpa sepengetahuan Erdem, ikut bergoyang mengikuti guncangan bahunya. Saat terbahak begitu, Aysila sungguh terlihat lebih memikat. Lebih seksi! Makanya dulu, sambil memasangkan kalung itu ke lehernya di sebuah bangku taman di seberang Hagia Sophia yang menggigil dicumbui musim dingin yang tak bersalju, aku berbisik di dekat lehernya, “Sering-seringlah terbahak, Aysila, sebab itu membuatmu tampak lebih seksi….”
Aysila menarik lehernya dengan cepat dari dekat bibirku dan mengeluh geli oleh hempasan napasku yang berkabut. “Di mana-mana, lelaki selalu ingin melihat wanita tidak terbahak, Pamuk. Katanya, terbahak bukanlah simbol keanggunan. Terbahak hanya milik kaum bitchy!” Ia terbahak. Lihatlah! Ia memang terlihat sangat sensual dengan bahakannya, bukan?
“Ah, itu mitos!” sahutku, nyengir.
“Mitos yang diamini para lelaki, kan?”
“Tidak termasuk aku. Tidak termasuk manusia rasional Cartesian macam aku kok, Cantik….”
Aysila kian ngekeh. Ah, ia makin membuatku mabuk kepayang, meski tentu saja aku takkan pernah berani menganggapnya sebagai kekasihku.
Erdem mendengus, menjejalkan ujung rokoknya ke mulut asbak sampai mati. Sepertinya, ia tak begitu suka melihat kami tertawa gara-gara kata “sakralitas” tadi.
“Orang Cartesian hanya akan hidup dengan kaca mata kuda. Seperti kau ini, Pamuk….” sergahnya kemudian.
Ah, Erdem, si kawan filsuf kami ini! Ia benar-benar kelihatan tersinggung dengan bahakan kami, rupanya.
“Kalem, Kawan, nikmati coffee latte-mu lagi,” kata Aysila sambil menyorongkan cangkir kopi Erdem ke dekatnya.
“Aku tidak marah kalian tertawa begitu, tapi aku hanya perlu menunjukkan pada Pamuk, bahwa otaknya adalah otak Cartesian. Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada! Betapa konyolnya prasangka itu jika selalu dijadikan pegangan tunggal dalam mengarungi kehidupan ini, Pamuk.” Ia berdiri, melemparkan matanya ke arah jendela. “Lihatlah laut di selat Bosphorus itu….”
Kuikuti arah telunjuk Erdem. Mengalihkan mata ke kaca bening yang membanjar di seberang kursi kami. Sebuah selat yang tak begitu luas, yang permukaan airnya nyaris sejajar dengan tinggi talud yang berderet di tepian selat sepanjang kota ini, tampak temaram memantulkan siluet ombak dan tubuh beberapa kekasih yang saling memeluk di beberapa tepiannya.
“Ada apa dengan Bosphorus? Dari dulu, sekarang, dan juga nanti tetap akan begitu adanya,” gumam Aysila.
Erdem tersenyum kecil, terkesan bernada agak melecehkan memang. “Kau tahu apa warna air laut Bosphorus di malam hari?”
“Biru!” sergah Aysila.
“Selalu biru,” sambungku. “Bahkan, Laut Merah dan Laut Hitam pun airnya berwarna biru, Erdem. Aku telah membuktikannya saat bertandang ke Jeddah dua tahun lalu.”
“Itulah kalian si Cartesin, si Logosentris! Aku bisa bilang warna air di selat Bosphorus itu hitam, bukan? Lihatlah! Hitam, bukan?” Erdem mengekeh. Biasalah, jika obrolan kami sudah mulai serius begini, hentakan kecil akan sedikit meletup dari mulut Erdem.
Aku pernah berbisik pada Aysila di suatu hari bahwa gaya meletup Erdem mungkin saja menjadi pipa pelariannya untuk memuntahkan segala roman kemurungannya. Dan Aysila hanya terbahak saat itu. Tentu, ia tampak begitu cantik saat membahak.
“Differance, Kawan, buatlah penangguhan diri dari hukum-hukum sumir rasionalitas! Berhentilah terus-menerus membiarkan diri kalian berada dalam posisi berpikir yang benar adalah begini dan begitu saja. Hidup ini harus ditolong oleh keluasan imajinasi, agar menjadi lebih kreatif dan berwarna!”
“Derrida!” seru Aysila sambil membahak.
“Barthes? Sartre? Kierkegaard? Kant? Ataukah Foucault yang ingin kau ceritakan pada kami malam ini, Erdem?” timpalku dengan mulut menyeringai.
Erdem tersenyum kali ini; sebentang garis datar saja di antara dua bibirnya. Selalu begitu. Tak pernah lebih. Dasar si pemurung!
“Sampai kapan pun, aku akan tetap Cartesian!” tegasku.
“Aku juga!” timpal Aysila.
Erdem menyeret senyumannya perlahan. Lalu menyimpannya rapat-rapat. Matanya menelan wajah kami, satu-persatu. “Dan sampai mati pun, kalian akan terus hidup dalam satu warna begitu. Ya, sampai mati! Menyedihkan….”
“Kami menyedihkan, Erdem, tapi kami bisa terbahak lepas. Sebab kami bisa merasa bahagia berkat pikiran kami. Kau tidak menyedihkan, Erdem, tapi kau selalu murung. Sebab kau menganggap kemurungan dan kebahagiaan adalah soal imajinasi belaka.”
Aysila terbahak mendengar kata-kataku. Begitu keras. Sampai-sampai, sepasang kekasih yang masih bertahan di meja dekat jendela yang setengah terkuak itu, yang kedua tangannya saling bergenggaman sedari tadi, menoleh ke meja kami.
Aku tersenyum pada mereka, dan mereka pun tersenyum pada kami: para kelelawar kota yang membalik siang menjadi malam dan malam menjadi siang.
“Ingat, Erdem, kata-katamu tentang Sartre kemarin malam, bahwa imajinasi yang kau puja itu tetaplah hanya sebuah bayangan tentang sebuah kenyataan dari ketiadaan. Bayangan, Erdem! Bagaimana pun, bayangan akan tetaplah maya….”
“Tidak akan selalu maya jika aku yang berimajinasi berhasil mewujudkannya menjadi kenyataan, bukan?” sergah Erdem. “Kalian bacalah sejarah Newton yang menciptakan teori gravitasi hanya sebab melihat apel jatuh! Ia berimajinasi dengan sangat luas, bukan? Lalu ia berhasil mengubah sejarah dunia!” Erdem kembali meneguk coffee latte-nya. Berdehem-dehem kecil beberapa kali, mungkin untuk mempertontonkan kecongkakannya pada kami, lalu berkata, “Albert Einstein juga berhasil menciptakan rumus E=mc2 berkat imajinasinya. Thomas Alfa Edisson yang disebut bodoh oleh guru-gurunya yang Cartesian berhasil mengubah wajah dunia berkat imajinasinya pula! Marx Zuckerberg menciptakan Facebook juga dengan imajinasinya. Semua bersumber pada imajinasi, kalian tahu itu, kan?”
“Lantas, kau sendiri berimajinasi apa, Erdem?” Mataku dan mata Aysila saling bertumbuk saat melontarkan kalimat yang nyaris serentak itu.
Erdem kehilangan kata-katanya. Beberapa jenak saja, tentunya. Sebagai orang pintar yang berbaur arogan, manalah mungkin ia akan memperlihatkan geragapnya.
“Sebuah hiper-realitas, dan itu adalah bagian dari proses imajinasi yang akan mengubah wajah dunia, setidaknya wajah hidupku,” ucapnya kemudian. Nadanya agak lirih. Bahkan, nyaris tak terdengar diringkus oleh suara kursi yang berderit diseret sang waitress yang murah senyum itu.
“Baudrillard!” sergah Aysila.
Aku terkekeh.
“Benar, bukan?” timpal Erdem.
“Erdem, mending kau alihkan energi imajinasimu yang sanggup menciptakan hiper-realitas itu untuk berpikir kapan kau akan memiliki kekasih, seperti pemuda di sebelah itu,” bisik Aysila dengan kepala sedikit ditekuk mendekati wajah Erdem. “Ada tangan yang bisa kau pegang, ada wajah yang bisa kau pandang, ada canda yang bisa menghapus muka murungmu, pasti hidupmu akan bahagia.”
“Setuju! Kau boleh saja memuja Foucault kok, tapi tidak perlulah kau turut meniru wajah murungnya saat berimajinasi tentang arkeologi pengetahuan sampai tak ada waktu untuk mencintai wanita,” timpalku sambil terbahak. Ngikik.
“Lalu kau ujungnya akan mencintai Pamuk, Erdem….?” Aysila kembali memperdengarkan bahakannya yang tak lamat.
Dengusan Erdem merobek bahakan kami. “Sudahlah, sekarang silakan terbahak puas begitu, mentertawakan aku. Kelak, kalian akan membenarkan kata-kataku, bahwa dunia ini akan kian berantakan sebab adanya orang-orang macam kalian yang hanya melihat bahagia dengan cara usang cogito ergo sum!” Erdem kembali memamerkan muka murungnya yang ditingkahi ucapan bernada sinis itu. “Asal kalian tahu, orang Cartesian takkan pernah sanggup membahagiakan orang lain. Tahu kenapa? Sebab Cartesian hanya berpikir tentang dirinya, dirinya, dan dirinya! Tentang aku, aku, dan aku belaka. Orang lain? Masa bodohlah! Dan hukum semesta telah mengatakan bahwa hanya orang yang bisa membuat orang lain tertawalah yang akan bisa tertawa pula dalam hidupnya. Titik!”
Aku terhenyak, kali ini. Deg! Ia menembak jitu prinsipku bahwa dengan berpikir bahagia maka aku akan bahagia. Sialan!
Kulihat Erdem bangkit dan melangkah gontai ke toilet yang nyempil di lorong kecil yang bersisian dengan posisi duduk sang waitress di dekat galon air itu. Tampak ia berbicara sekilas pada sang waitress itu, lalu menyelinap ke dalam toilet.
“Hei….” desisku pada Aysila.
“Ya?” sahutnya pelan.
“Jadi?”
Aysila menjawab dengan senyumannya saja.
“Hei, terbahaklah, aku suka lihat kau terbahak.”
“Kau gila!”
Aku terkekeh, tetapi buru-buru kutelan kembali kekehan itu saat Erdem muncul dan mendekat ke arah meja kami. Ia kembali duduk di kursinya, meneguk minumannya, lalu melemparkan mata elangnya ke arah kaca lebar yang menjadi dinding kafe ini.
Malam kian beranjak tua dihajar dentang waktu. Sekitar lima belas menit lagi, Boozcada Café ini akan tutup. Angin laut yang melindap melalui jendela yang setengah terkuak di lantai dua ini terasa lebih dingin dari biasanya. Di ujung langit Eropa sana, bulan yang suram terkulai begitu kelelahan. Kulihat Aysila mulai sering menguap. Matanya agak merah.
Kupanggil waitress yang tampak mulai diserang kantuk itu, yang terduduk terantuk-antuk di dekat galon air, di sebelah meja bartender. Tak lama, ia datang sambil menyodorkan sehelai kertas billing. Cukup 30 Lira untuk malam panjang yang dijejali suara Derrida hingga Sartre! Kali ini giliranku yang membayar billing.
Lalu kami menuruni tangga besi sempit yang melingkar-lingkar bak ular ini. Tak lupa, sebelumnya, kulambaikan tangan kepada sepasang kekasih yang masih menghabiskan tegukan terakhirnya di meja dekat jendela yang terkuak setengah itu.
Kami berjalan dengan langkah pendek-pendek menyusuri pedestrian yang kian senyap ini. Angin laut begitu setia berkejaran. Beberapa kapal dan perahu yang ditinggalkan pemiliknya yang pastilah tengah mendengkur tampak terayun-ayun dijilati ombak-ombak Bosphorus. Seorang penjual roti bulat-bulat mirip donat tanpa misis terduduk di kursi plastiknya dengan kepala kulai dan mata pejam. Dengkurannya berkelindan ke telinga kami.
Di langit Eropa, di seberang selat yang pernah ratusan tahun dikuasai orang Romawi ini, bulan yang muram kian terlihat kusam dengan warna kekuningannya yang kian pikun.
Nyaris pukul tiga dini hari, kami sampai di gerbang apartemen Aysila. Sambil melingkarkan lengan kanannya ke pundakku, Aysila menatap Erdem. “ Erdem, pagi ini kupinjam Pamuk ya untuk membantuku membenahi kabel-kabel yang bermasalah di kamarku.”
Tak ada suara dari bibir Erdem. Matanya beralih ke wajahku. Tentu, dengan tatapan elangnya.
“Ayo, Pamuk, masuk…” kata Aysila sambil menarik pundakku.
Kupegang lengan Aysila, kutatap wajah Erdem, lalu berkata,
“Sorry, Aysila, pagi ini aku sudah janjian akan tidur di apartemen Erdem. Soal kabel-kabelmu, nanti kubereskan ya.”
Mata Aysila sontak melompat. Tajam. Ribuan anak panah melesat dari baliknya dan menghunjami wajahku.
“Masuklah, Aysila, sudah sepi begini,” kataku sambil melepas lengannya, dan beralih menggandeng lengan Erdem. Tanpa menoleh lagi, kuayunkan kaki beriringan dengan gontai kaki Erdem. Lantas kami menghilang di sebuah tikungan, mengarah ke kiri, lalu membelah beberapa rumah yang terkapar diterkam lelap, lalu masuk ke sebuah gang kecil di distrik Besiktas yang di ujungnya ada sebuah apartemen dengan dominasi cat merah menyala.
Erdem berdiri di depan apartemennya, menyantap sekujur tubuhku dengan mata elangnya yang kelihatan lebih mengkilat. “Pamuk, kau serius mau menginap di sini bersamaku?”
Aku terbahak. Mengekeh. “Erdem, Erdem, kau pikir aku akan benar-benar membantumu menjadi Foucault?”
Erdem tersenyum. Ya, senyum kecil saja, sebagaimana biasa, diiringi mata elangnya yang meredup.
“Baiklah, Erdem, aku pulang…” kataku sambil membalikkan badan, mengayun gontai membelah beberapa gang yang kusam, berbelok beberapa kali. Lalu, dengan ayunan terbaik yang bisa kulakukan, kuarahkan badanku ke apartemen Aysila.
Semoga Aysila belum tidur, gumamku sambil memencet nomer telponnya. Yes! Terdengar suaranya di gagang telponku.
“Buka pintu, Aysila….”
“Kau serius, Pamuk?! Bukankah tadi kau begitu kejam mempermalukanku dan memilih tidur bersama Erdem?!”
“Oh, no! Sejak kapan aku menjadi si homoseks, hah?”
“Haaaaaa…” Asysila memperdengarkan kekehannya yang membuatku semakin tak sabar menunggu pintu apartemennya terkuak. “Kau memang cerdik, Pamuk! Tepatnya licik! Melebihi siapa pun. Bahkan, kawan filsuf kita si Erdem itu pun berhasil kau kecoh….”
“Cogito ergo sum!” kekehku sambil mematikan telpon. Sesungguhnya, dalam hati, aku ingin mengatakan bahwa sejuta taktik pun akan kupikirkan demi membuatku bahagia, Aysila….
Jogja, 8 Oktober 2014
Catatan: Cerpen ini pernah dimuat di Horison, Januari 2015.
*) Edi AH Iyubenu, adalah cerpenis dan essais yang sangat produktif di tahun 2000. Dimasukkan ke dalam Angkatan Sastra 2000 oleh Korrie Layun Rampan. Kini, mengasuh wadah menulis Kampus Fiksi, Penerbit DIVA Press Group, dan situs basabasi.co. Karya-karyanya pernah dimuat di Horison, Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Suara Merdeka, dll. Buku kumcernya, Ojung (2000), Penjaja Cerita Cinta (2014), dan Hujan Pertama untuk Aysila (2015). @edi_akhiles.
**) DISKUSI SASTRA PKKH UGM
Acara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda. Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum).