Rabu, 26 Oktober 2016
Pukul 19.30-22.00 WIB
Di Hall PKKH UGM
Pembahas:
Esti Nuryani Kasam, Sastrawan
Diyan Zahro, Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM
Moderator:
Uci Elly Kholidah
Anda dapat mengikuti ulasan dari para pembahas sebagai pemantik untuk berdiskusi, dengan mengklik tautan: https://www.facebook.com/events/1611231179170510/
****
“Ibu Pergi ke Laut”
Cerpen Puthut EA
Ayah bilang ibu pergi ke laut. Waktu aku tanya kenapa ibu tidak pulang, ayah menjawab, ibu mungkin tidak pulang. Tentu saja kemudian aku bertanya apakah ibu tidak kangen padaku? Dan ayah menjawab, tentu saja ibu kangen dan tetap sayang padaku. Tapi kenapa ia tidak pulang? Apakah ada seorang anak sepertiku yang ada di laut sehingga ibu tidak mau lagi pulang ke rumah ini? Sepasang mata ayah kemudian berair.
Ibu, seperti juga ayah, sering sekali pergi. Mereka bisa pergi berhari-hari. Terakhir yang kuingat, malam sebelum ibu pergi, aku melihat ia mengepak barang di dalam tas besar. Enak jadi orang yang sudah besar, pakaiannya banyak. Pagi sebelum ibu pergi, ia masih sempat mencium pipiku, lalu seperti biasanya, ia juga mencium ayah, kemudian ayah mengantar ibu. Enak jadi orang yang sudah besar, bisa pergi ke mana-mana dan tidak harus terus berada di rumah.
Sewaktu ibu mengepak barang, seperti biasanya aku bertanya apakah ia akan pergi ke Jakarta? Ibu menggeleng. Apakah ke Surabaya? Apakah akan ke Medan? Apakah akan ke Bali? Ibu juga menggelengkan kepala. Lalu aku bertanya, terus pergi ke mana? Ibu bilang pergi agak jauh, ibu mau pergi ke Aceh. Aku bingung. Di manakah Aceh itu? Lalu ibu menjelaskan bahwa untuk pergi ke sana kita harus meyeberangi laut. Ibu akan naik kapal? Ibu kembali menggelengkan kepala. Ia menjawab akan naik pesawat terbang. Wah, kenapa tidak naik kapal? Kan enak, bisa melihat banyak air. Ibu hanya tersenyum dan mencium pipiku. Ada saatnya aku tidak suka dicium, apalagi jika ciuman itu meninggalkan rasa panas di pipi. Kenapa banyak orang mencium pipiku, tetapi terasa sangat panas?
Tapi lama ibu tidak juga pulang, setiap kali aku bertanya di mana ibu, ayah menjawab, ibu pergi ke laut. Enak jadi orang yang sudah besar, setelah pergi ke sebuah tempat bisa langsung pergi ke tempat yang lain. Setelah pergi ke Aceh, bisa pergi ke laut.
Semua orang tiba-tiba terlihat semakin sayang sama aku. Tetangga-tetanggaku, tante-tanteku, semua terlihat semakin sayang. Nenek dan kakekku bahkan perlu tinggal berminggu-minggu di rumahku setelah ibu pergi ke laut. Bergantian mereka mengelus-elus rambut dan memelukku, apalagi ketika menonton televisi. Di televisi, aku melihat banyak bangunan yang rusak. Aku melihat air yang berlimpah menghanyutkan banyak orang dan barang. Aku senang sekali dengan air. Aku bertanya dari mana air sebanyak itu? Nenek bilang air itu datang dari laut. Lalu aku teringat ibu. Bukankah ibu ada di laut? Nenek dan kakekku lalu terdiam. Mata mereka berair.
Ibu tahu aku lebih senang air daripada udara. Aku lebih senang ikan daripada burung. Dulu ibu sempat bertanya mengapa? Aku menjawab, habis enak kalau main air. Dan ikan-ikan itu terlihat lebih segar dibanding burung. Lagi pula, bukankah burung bisa terjatuh ketika terbang? Sedangkan ikan tidak mungkin jatuh. Aku pernah beberapa kali jatuh. Dan jatuh itu sakit.
Ibu pintar berenang. Aku sering diajaknya pergi ke kolam renang. Di kolam renang, ibu bisa seperti seekor ikan yang besar. Ia berenang ke sana kemari. Sering pula aku menumpang di punggungnya. Dan aku tahu alangkah enaknya menjadi ikan. Aku ingin cepat bisa berenang. Aku ingin seperti ibuku. Aku ingin menjadi ikan.
Aku pernah bertanya pada ayah, apakah di laut ibu menjadi ikan? Ayah bilang tidak. Ibu tetap menjadi ibu. Tapi berenang terus dan hidup di air bukankah akan membuat ibu capek? Ayah bilang tidak sebab ibu orang hebat. Aku senang sekali. Ibu memang hebat. Dan di laut, tentu ibu akan seperti yang pernah diceritakannya. Ibu pernah bercerita kalau ada ikan-ikan besar yang baik hati di laut. Ikan-ikan itu banyak menolong kapal-kapal yang akan tenggelam. Ibu tentu akan banyak menolong kapal-kapal yang akan tenggelam. Mungkin ia menjadi pemimpin para ikan yang senang menolong itu. Kalau aku sudah bilang seperti itu ke ayah, ia kelihatan bangga, tapi bibirnya gemetar dan matanya kembali berair. Ayah kemudian bilang, makanya aku tidak usah menunggu ibu pulang sebab di laut ibu sedang menunaikan tugas- tugas mulia menyelamatkan kapal- kapal yang akan tenggelam. Aku mengangguk mengerti, dan ayah memelukku. Ada saatnya aku tidak suka dipeluk, apalagi jika pelukan itu membuat tubuhku terasa sakit.
Sebetulnya aku sangat rindu pada ibu. Aku rindu cerita-ceritanya, aku rindu diajak pergi ke kolam renang, aku pengin dibuatkan kue-kue yang enak. Tapi kalau kemudian aku ingat bahwa ibu harus memimpin ikan-ikan yang baik hati, aku hanya bisa diam. Pasti ibu kasihan melihat kapal-kapal yang akan tenggelam. Di dalam kapal-kapal itu pasti banyak anak kecil seusiaku yang belum bisa berenang. Ya, ibu harus menyelamatkan mereka.
Tapi, setidaknya aku berharap ibu akan meneleponku seperti yang dulu-dulu jika ia pergi dalam waktu yang cukup lama. Mungkin di laut tidak ada telepon. Kalau tidak ada telepon, setidaknya ibuku bisa menitip surat untukku lewat kapal-kapal yang telah diselamatkannya. Atau jangan-jangan ibu terlalu sibuk? Mungkin aku yang harus mengiriminya surat terlebih dahulu. Tapi aku tidak bisa menulis surat. Lalu aku teringat Mbak Memi.
Siang itu aku menunggu Mbak Memi pulang dari sekolah. Ia tinggal di depan rumah kami. Ia sudah sekolah SD dan temannya banyak. Aku sudah sering bilang ke ibu kalau aku pengin juga sekolah. Ibu selalu tersenyum jika aku bilang seperti itu. Katanya, sebentar lagi aku pasti akan sekolah. Ketika dari jauh aku melihat Mbak Memi pulang sekolah, aku langsung bilang ke Bi Nah kalau aku akan main dengan Mbak Memi.
Mbak Memi orangnya baik. Ia sering mengajak dan menemaniku bermain. Dulu, ibu juga sering mengajak Mbak Memi pergi ke kolam renang. Kalau ibu habis bepergian, ia juga sering memberi oleh-oleh untuk Mbak Memi. Tapi Mbak Memi terlihat bingung ketika aku bilang bahwa aku ingin dia menuliskan surat untuk ibuku. Ia bilang, kalau aku ingin menulis surat untuk ibu, aku harus tahu alamatnya. Aku tidak tahu apa yang dimaksud dengan alamat. Kemudian ia bertanya, di mana sekarang ibuku berada? Aku bilang ibu ada di laut. Mbak Memi diam. Tak lama kemudian ia terlihat tersenyum. “Dinda, aku tahu bagaimana cara mengirim surat untuk ibumu.”
Ia kemudian mengambil sehelai kertas, dan bertanya kepadaku apa yang ingin kusampaikan pada ibuku. Aku hanya ingin mengatakan bahwa aku sangat rindu pada ibu, tapi aku tahu kalau ibu mempunyai tugas yang berat, yaitu menyelamatkan kapal-kapal yang akan tenggelam. Mbak Memi menuliskan pesanku. Ia kemudian bertanya, “Ada lagi yang lain?” Aku menggelengkan kepala.
Kemudian kulihat Mbak Memi kembali bingung. Ia kemudian bertanya lagi, “Dinda, kamu bisa tanda tangan?” Aku bingung. Aku menggelengkan kepala. “Menurut guruku, kalau kita mengirim surat, lebih baik ada tanda tangannya. Biar ibumu tahu kalau yang mengirim surat ini benar-benar kamu. Bukan surat yang palsu.” Aku kembali menggelengkan kepala. Entah kenapa aku merasa sedih. Enak betul kalau sudah sekolah, diajari membuat surat dan diajari membuat tanda tangan.
“Aku tahu!” Tiba-tiba Mbak Memi terlihat senang. Lalu ia mengoleskan penanya ke jempol tanganku dan memintaku untuk menempelkan di kertas surat yang baru saja ditulisnya. “Dinda, ini namanya cap jempol. Itu sama dengan tanda tangan.” Aku senang sekali. “Dinda, menurutku lebih baik kamu juga memberi fotomu untuk ibumu. Mungkin ia membutuhkan fotomu kalau ia kangen sama kamu.”
Aku tersentak. Dengan segera aku balik ke rumah dan mengambil beberapa lembar foto yang ada di album foto. Tapi, waktu aku bawa semua ke rumah Mbak Memi, ia bilang cukup satu saja. Lalu kupilih satu foto sewaktu aku digendong ayah. Bukankah ibu juga butuh foto ayah jika ia kangen?
Fotoku itu dimasukkan ke amplop dan dilem kuat oleh Mbak Memi. “Dinda, siapa nama lengkap ibumu?” Kali ini aku sangat senang. Aku hafal nama lengkapku, nama lengkap ayahku, juga nama lengkap ibuku. Aku juga bisa menuliskan nama-nama itu. Lalu aku minta kepada Mbak Memi agar aku saja yang menulis nama lengkap ibuku. Selesai menulis nama lengkap ibuku, aku mengembalikan amplop itu ke Mbak Memi karena ia yang harus menulis alamat ibuku. Selesai menuliskannya, Mbak Memi memberikannya lagi ke aku sambil menunjukkan di mana aku harus menuliskan namaku sendiri. Selesai sudah. Kini Mbak Memi membacakannya untukku. “Untuk Ibu Maya Sophia di laut. Dari Dinda Sophia Zaki.” Aku senang sekali. Apalagi sewaktu Mbak Memi membaca nama lengkapku. Namaku Dinda, Sophia nama ibuku, dan Zaki nama ayahku.
Mbak Memi kemudian membungkus lagi amplop itu dengan sebuah plastik bening. Ia bilang supaya tidak basah. Aku bertanya, kenapa takut basah? Bukankah akan diantar Pak Pos? Mbak Memi menggelengkan kepala. Ia bilang tidak mungkin lewat Pak Pos. Aku kembali merasa sedih. Lalu lewat siapa? Mbak Memi menjawab lewat kapal-kapalan. Lewat kapal-kapalan? Kenapa begitu?
Mbak Memi lalu menjelaskan. Menurut gurunya, semua sungai itu mengalir ke laut. Jadi, nanti kami akan membuat sebuah kapal dari kertas yang dilapisi plastik untuk membawa suratku pada ibu. Aku lega. Dan tidak lama kemudian Mbak Memi sudah sibuk membuat kapal kertas yang cukup besar dari bahan kertas kalender. Ia melapisi kapal-kapalan itu dengan plastik, lalu merekatkan amplop yang berisi suratku di dalamnya. Enak sekali menjadi anak sekolah, bisa membuat apa saja dan tahu banyak hal.
Mbak Memi mengeluarkan sepeda mininya. Ia kemudian menemui Bi Nah untuk meminta izin pergi bersamaku naik sepeda. Dengan membawa kapal kertas yang berisi suratku, aku membonceng Mbak Memi menuju sungai.
Di dekat gapura yang akan menuju rumahku, ada sungai kecil. Sekalipun aku senang sekali melihat sungai itu, tapi aku tidak pernah main di sungai. Kali ini, aku merasa semakin senang dengan sungai kecil ini. Lewat sungai ini aku bisa berhubungan dengan ibuku. Sebelum kapal kami luncurkan di air, Mbak Memi memintaku berdoa agar kapal itu bisa selamat membawa suratku untuk ibu. “Doanya apa ya, Mbak?”
“Kamu bisa Al Fatihah?”
Aku mengangguk ragu. Ibuku sering mengajari aku menghafal Al Fatihah, tapi aku sering lupa. Al Fatihah terlalu panjang. Lebih panjang dibanding doa sebelum tidur atau doa sebelum makan. Lalu aku berusaha mengingatnya. Dengan malu, akhirnya aku bertanya ke Mbak Memi, “Mbak, sebelum iyyakana’budu, apa ya?”
“Malikiyaumiddin, Dinda….”
Mbak Memi kemudian mengajakku sama-sama membaca Al Fatihah. Setelah selesai, kapal kami turunkan ke air. Kapal melaju dengan tenang. Aku yakin kapal itu akan sampai ke laut, dan ibuku pasti senang menerimanya.
Sebelum kami pergi, aku berkata kepada Mbak Memi. “Mbak, kalau ibu membalas suratku lewat apa?”
Mbak Memi diam. Kemudian ia menjawab, “Lewat hujan, Dinda.”
“Kenapa lewat hujan?”
“Kata bu guru, hujan itu berasal dari air yang menguap. Air di laut, di danau, di sungai menguap karena panas matahari. Uap itu lalu berkumpul menjadi awan, dan kemudian turun menjadi hujan.”
Aku bingung. Tapi itu tidak penting. “Lalu surat dari ibuku ikut turun bersama hujan, ya?”
Mbak Memi kembali diam. “Mungkin, Dinda. Tapi coba kamu tanya pada ayahmu nanti.”
Aku tersenyum lega. Aku membayangkan alangkah indahnya. Surat dari ibuku naik ke langit, lalu ada di dalam awan, dan kemudian turun bersama hujan ke rumahku. Mungkin akan tertempel di daun, mungkin akan tertempel di jendela, mungkin juga ada di pagar rumah.
Sesampai di rumah Mbak Memi, sebelum aku pulang, aku sempat bilang padanya. “Mbak, kalau hujannya besok turun waktu ayah kerja di kantor, aku dibacakan suratnya, ya?”
Mbak Memi tersenyum dan mengangguk. Aku senang sekali.
Sehabis makan malam dengan ayah, tak sabar aku menceritakan apa yang telah kulakukan tadi siang bersama Mbak Memi. Ayah mendengarkanku. Dan seperti biasanya, bibirnya terlihat gemetar, kedua matanya berair, sebelum kemudian memelukku erat. “Ayah, apakah ibu akan membalas suratku lewat hujan?”
Ayah diam. Lalu ia mengangguk pelan. Aku lega. Aku mulai membayangkan ketika hujan turun ada sehelai amplop terbungkus plastik bening yang hinggap di jendela. Ayah lalu mengantarkanku ke tempat tidur. Seperti biasanya, ayah kemudian bertanya kepadaku, aku mau diceritai apa malam ini? Semenjak ibu pergi, aku selalu meminta agar ayah bercerita kepadaku tentang laut. Ayah kemudian bercerita tentang sebuah kerajaan di bawah laut. Kerajaan itu indah sekali. “Ibu ada di istana itu?” Ayah mengiyakan. Lalu ia melanjutkan ceritanya, hingga kemudian suaranya melambat. Cerita ayah masuk ke dalam mimpiku. Di sana aku melihat ibu sedang bercanda dengan ikan-ikan besar yang baik hati. Dan aku ikut bermain bersama mereka. Ibuku, seperti biasanya, membawaku berenang di atas punggungnya.
Aku terjaga ketika wajahku terasa basah. Aku hanya bermimpi. Aku merasa ayahku sedang menciumi wajahku. Samar kudengar ia berkata, “Maya… kamu tahu aku dan Dinda tidak pernah baik- baik saja tanpa kamu….” Lalu kurasakan suara ayah beralih menjadi suara tangis. Air matanya jatuh ke wajahku. Ia mengelap wajahku dengan rasa sayang. Aku tetap terdiam tanpa membuka mata. Tempat tidurku terguncang hebat. Tangis ayah terasa semakin kencang, dan lamat pula aku mendengar, “Maya, apa yang harus kukatakan kepada Dinda?”
Lalu kulihat lagi ibu bersama ikan-ikan sedang menyelamatkan sebuah kapal. Di kapal itu, aku melihat ayah.
Pagi harinya, ketika aku bangun tidur, aku kaget dan berteriak girang. Ada amplop dibungkus plastik bening di jendela kamarku. Dengan segera aku keluar rumah dan mengambil amplop itu, lalu sibuk mencari ayah, semoga ia belum berangkat kerja. Ternyata ayah masih mandi. “Ayah, cepat! Ada surat balasan dari ibu! Semalam hujan ya?!”
Begitu keluar dari kamar mandi, ayah tersenyum. “Iya, Dinda, semalam hujan. Sekarang kamu harus mandi dulu, sarapan pagi bersama ayah, lalu kita akan baca bareng-bareng surat dari ibu.”
Selesai memandikan dan menyuapiku, ayah membacakan surat dari ibu. Dalam surat itu, ibu bilang bahwa ia telah menerima suratku. Dan ia berpesan agar aku tidak usah mengirim lagi surat karena ibu bisa melihatku dengan baik dari laut. Aku senang sekaligus merasa sedih. Senang karena ibu membalas suratku. Sedih karena ibuku tidak ingin aku mengirim lagi surat. Ayah kemudian mencium pipiku. “Dinda jangan sedih. Hari ini kita akan pergi ke laut. Kamu masih boleh mengirim sekali lagi surat ke laut. Dan kita akan bawakan bunga untuk ibu. Sekarang kamu pilih dan ambil bunga di halaman untuk ibu, biar ayah yang menulis surat. Kamu ingin menulis apa, Sayang?”
Aku melonjak girang. Aku bilang ke ayah kalau aku ingin memberi tahu ibu supaya aku masih boleh mengiriminya surat, dan aku ingin bilang bahwa aku ingin cepat sekolah supaya nanti aku bisa menulis surat sendiri. Dengan cepat aku pergi ke halaman depan, memetik sebanyak mungkin bunga untuk ibu. Aku tahu bunga-bunga yang disukai ibuku. Lalu kami berdua berangkat ke laut.
Sesampai di laut, aku senang sekali. Aku yang melempar sendiri surat yang dituliskan ayahku. Aku juga ikut ayahku menaburkan bunga-bunga yang kupilih. Setelah itu, aku bermain air laut dengan ayah. Setelah aku cukup lelah, ayah kemudian mengajakku untuk makan ikan di warung-warung makan yang ada di pantai.
“Dinda mau makan ikan apa?”
Aku menggelengkan kepala. Ayah heran, kemudian ia bertanya, “Kenapa, Dinda?”
“Kasihan ibu kalau ikan-ikan diambil terus. Nanti ibu kehilangan banyak teman di laut.”
Kulihat ayah diam. Matanya berair. Ia menangis sambil memelukku. Aku heran sekali. Ayah sekarang gampang menangis!
****
“Koh Su”
Cerpen Puthut EA
Harus kuakui, seluruh gambaranku tentang Koh Su ada pada laki-laki itu. Selama hampir setengah jam aku berada di sini, tidak pernah kudengar suaranya. Tidak juga pernah kulihat ia menoleh ke arah para pemesan dan pengantre. Dingin. Suntuk dengan dunianya sendiri.
Minyak dituang. Diambilnya sebuah benda dari kotak di dekatnya, digedoknya keras. Remuk. Dilemparkannya ke arah penggorengan. Dilakukannya hal itu beberapa kali. Tidak ada saus tomat di dalam botol, tidak ada juga botol kecap. Hanya ada satu botol yang berisi cairan berwarna coklat di dekatnya. Botol itu dibebat kain, yang dugaanku, dulunya berwarna putih namun sekarang mulai berwarna coklat.
Ketika sebulan yang lalu, sebuah kabar merayap di kampung ini, aku termasuk orang yang tidak peduli. Paling-paling hanya desas-desus yang sengaja disebarkan oleh seorang penjual yang sedang akan menggelar dagangannya agar laris. Seingatku, sudah belasan kali sejak aku kecil hal seperti ini terjadi.
Dari kecil aku sudah biasa dengan drama-drama kecil ini. Tiba-tiba ada beberapa mulut yang mengatakan bahwa resep nasi goreng ala Koh Su sudah ditemukan. Lalu orang-orang begitu ramai. Tidak lama kemudian, berdiri sebuah warung makan di kota kecil ini, khusus menyediakan menu nasi goreng. Orang-orang mengantre. Begitu ramai. Lalu hanya seminggu atau dua minggu, warung itu akan sepi kembali. Kukut. Tutup untuk selamanya. Begitu berkali-kali.
Di kota ini, nasi goreng identik dengan sebuah nama: Koh Su. Begitu dekatnya hubungan antara nasi goreng dan Koh Su, sampai nama Koh Su menjadi kata kerja untuk aktivitas membuat nasi goreng. Kalau ada seseorang yang berkata, ”Tadi pagi saya ngohsu,” itu berarti tadi pagi ia membuat nasi goreng. Atau kalau ada orang yang berkata, ”Ngohsu, yuk…” itu artinya ia mengajak membuat nasi goreng.
Di kota kecil ini, hampir semua jenis masakan yang biasa ditemui di kota-kota lain ada. Hanya satu saja yang tidak ada, warung nasi goreng. Kalaupun warung nasi goreng itu muncul, seperti yang aku ceritakan di atas, didahului dengan bumbu-bumbu cerita, tidak berapa lama sebuah warung berdiri, diserbu pembeli, kemudian mati. Hanya menambah deret kekecewaan orang akan penjual nasi goreng, dan semakin mengukuhkan legenda Koh Su.
Aku memperhatikan lagi penjual nasi goreng yang sedang khusuk dengan masakannya itu. Semua yang kubayangkan tentang Koh Su, memang benar-benar ada pada laki-laki itu. Rambut penjual itu lurus, panjang, agak jarang, dan dikucir. Di kepalanya bertengger kopiah hitam. Kumisnya jarang-jarang tapi dibiarkan tetap tumbuh, juga jenggotnya. Matanya sipit, dan di sepasang mata itu dikelilingi daging menggelambir. Tubuhnya tinggi dengan perut yang agak buncit. Di mulutnya selalu terselip sebatang rokok kretek. Kutaksir ia berumur empat puluh tahun lebih.
”Dek! Dek!”
Laki-laki itu selalu mengakhiri prosesi memasaknya dengan cara yang sama, dua gedokan keras di wajan, sebelum menuangkan ke piring. Pembantunya, seorang anak berusia belasan tahun yang biasa dipanggil ’Mbeng’ lalu mengantar sesuai dengan urutan pemesan.
Aku melihat ke sekeliling, masih banyak orang yang belum mendapatkan jatah pesanan mereka. Giliranku masih sangat lama.
Dari hulu sampai hilir, cerita tentang Koh Su serba tidak jelas. Ada yang bilang kalau ia bukan orang Tionghoa, melainkan orang Madura. Nama sebenarnya Sukendar. Tapi karena mirip orang Tionghoa maka ia dipanggil Koh Su. Tapi banyak orang yang tidak sependapat. Bagi sebagian orang, Koh Su adalah orang Tionghoa. Ada juga yang bilang kalau Koh Su orang Jawa, hanya ia belajar memasak dari orang Tionghoa di Tuban, lalu pulang kampung dan mendirikan warung nasi goreng yang kemudian sangat tersohor. Nama sebenarnya Surono. Mana yang benar, aku jelas tidak tahu.
Lenyapnya Koh Su dari kota ini juga tidak jelas. Sebagian orang bilang Koh Su mati. Sebagian orang yang lain bilang Koh Su melarikan diri entah ke mana. Ada juga yang bilang kalau Koh Su moksa karena ia menganut ilmu kebatinan. Bagi mereka yang percaya bahwa Koh Su mati pun punya versi masing-masing. Ada yang meyakini Koh Su mati dibunuh di warung makannya, jasadnya dibuang di Gunung Genuk. Ada yang bilang Koh Su mati dikubur bersama puluhan orang komunis di sebuah sumur tua di belakang sekolah rakyat setelah berkali-kali ia tidak mempan ditembak dan dagingnya tidak tergores ketika disembelih. Mana yang lebih tepat, tentu saja aku tidak tahu.
Konon, tempat berjualan Koh Su terletak di bawah pohon beringin, sebelah barat alun-alun, di dekat masjid. Beringin itu sampai sekarang masih kokoh berdiri. Koh Su dikenal sebagai penjual yang tidak banyak bicara. Ia hanya sibuk memasak. Ia tidak melayani pesanan yang neko-neko. Di resep Koh Su, nasi goreng adalah nasi goreng. Ia tidak pernah meluluskan permintaan nasi goreng pedas, nasi goreng tidak asin, tidak pakai telor atau daging, dan lain-lain. Semua seragam, sama. Anehnya, sekalipun seragam, Koh Su selalu memasak satu per satu masakannya. Sehingga semua yang memesan harus sabar. Selain itu, tidak ada yang boleh membungkus nasi goreng lebih dari dua bungkus.
Semua orang tahu Koh Su tidak menggunakan kecap, tomat atau saus tomat. Semua orang juga tahu kalau Koh Su memakai semacam saus berwarna coklat. Tapi apa ramuan saus itu, tidak ada seorang pun yang tahu.
Dulu, aku pernah bertanya ke kakekku bagaimana rasanya nasi goreng Koh Su. Kakekku hanya menggelengkan kepala sambil berkata, ”Susah mengatakannya.”
Pak Pardiman, penjual kopi yang sangat terkenal di kota ini juga melukiskan hal yang hampir sama, ketika aku dan teman-temanku menanyakan rasa nasi goreng Koh Su saat kami ngopi di warungnya. ”Ini nasi goreng Koh Su. Ini surga. Jaraknya hanya segini…” sambil berkata seperti itu Pak Pardiman mendekatkan jempol tangan kanannya dan telunjuk tangan kanannya. Kedua jari itu hampir menempel, seperti sedang menjimpit sebatang rokok.
Beberapa orang kulihat datang, memesan lalu mengantre. Beberapa yang lain harus pulang karena nasi goreng yang belum dimasak sudah habis dipesan. Giliranku masih lama, tapi tetap merasa beruntung, paling tidak aku masih kebagian.
Aku tidak tahu persis, apakah gara-gara Koh Su, atau karena hal yang lain, tetapi yang jelas nasi goreng adalah menu spesial penduduk kota ini. Begitu spesialnya sehingga tidak gampang diperjual-belikan. Pelajaran memasak pertama yang diajarkan dan dilakukan oleh anak-anak adalah ngosu alias membuat nasi goreng. Kalau ada peringatan hari tertentu, seperti Hari Kemerdekaan sampai Hari Maulud Nabi, pasti ada lomba ngosu.
Begitu tenarnya nasi goreng di kota ini, maka muncullah orang- orang yang memang suka menguji nyali. Pada kali pertama dan kedua, itu cukup menggegerkan. Selebihnya kemudian ditanggapi dengan biasa saja.
Saat itu aku masih duduk di sekolah dasar ketika ramai-ramai ada berita bahwa resep nasi goreng Koh Su telah ditemukan. Sama seperti cerita tentang Koh Su sendiri, cerita perihal ditemukannya resep masakan Koh Su serba tidak jelas. Setelah beberapa minggu, di dekat rumah sakit berdiri sebuah warung nasi goreng yang mengaku memiliki resep Koh Su. Selama berhari-hari nasi goreng itu ramai sekali. Antrean begitu panjang. Anak-anak kecil, termasuk aku, hampir setiap hari prembik-prembik, ngambek kepada masing-masing orangtua kami karena tidak juga dapat giliran mencicipi nasi goreng saking banyaknya antrean. Tapi setelah beberapa minggu kemudian, warung itu sepi. Dan ketika akhirnya aku mencicipi nasi goreng itu, tidak ada bedanya dengan bikinanku sendiri saat aku sering ngosu dengan teman-teman sebayaku.
Kali kedua, lebih heboh lagi karena warung makan itu berdiri di bekas warung makan Koh Su, di bawah pohon beringin dekat alun-alun. Di kain warung makan itu tertulis jelas: Nasi Goreng Koh Su. Tapi tulisan itu hanya berumur beberapa hari karena polisi melarang tulisan ’Koh Su’ yang dianggap berbau komunis. Tulisan dihapus, tapi yang mengantre tetap banyak, juga para polisi. Namun hampir sama dengan yang pertama, umur warung makan itu hanya beberapa minggu. Setelah semua penduduk mencicipi dan ternyata biasa saja, warung itu sepi kemudian tutup.
Kali ketiga dan seterusnya sudah tidak terlalu mengejutkan. Selalu ada desas-desus, lalu muncul warung nasi goreng, disambut dengan harapan dan antrean, dan kemudian kecewa.
Aku memperhatikan sekeliling lagi. Orang-orang menunggu tanpa banyak bicara, seakan mereka sedang menunggu saat-saat yang paling menentukan bagi mereka. Orang-orang yang sudah mendapatkan giliran makan menyantap hidangan mereka dengan tenang. Khidmat. Yang sudah selesai juga membayar dan pergi dengan tenang. Mereka seperti selesai menunaikan sebuah ibadah.
Masih ada beberapa orang lagi, baru kemudian tiba giliranku.
Di kota ini, ngosu atau membuat nasi goreng bukanlah kegiatan yang bisa dilakukan hanya dengan sekian puluh menit. Semua ini karena bocoran resep-resep yang didapat dari Koh Su. Resep dan tatacara ini beredar dari mulut ke mulut. Mempengaruhi tindakan banyak orang dalam ngosu.
Kabarnya, nasi yang digoreng oleh Koh Su berasal dari padi di Dusun Ngandang, sebuah dusun di lereng Gunung Genuk. Padi itu ditanak sebagaimana biasa. Setelah matang, ditumpahkan di atas daun pisang lalu dikipasi dengan ipit, kipas yang terbuat dari bambu. Nasi itu dikipasi terus-menerus sampai hampir dingin, setelah itu dibungkus dengan daun pisang rapat-rapat. Nasi inilah yang kelak akan menjadi bahan utama membuat nasi goreng Koh Su. Untuk menghasilkan nasi goreng yang enak, buntalan daun pisang itu paling tidak harus berumur lima jam. Jadi, konon Koh Su selalu menyelesaikan beberapa buntalan nasi setelah selesai Duhur. Habis Magrib, nasi ini dibuka satu per satu, untuk dibuat nasi goreng.
Resep lain yang sudah ketahui banyak orang dalam membuat nasi goreng itu adalah dengan memakai kepala udang. Udang ini harus benar-benar udang laut dan harus segar. Kepala udang dipisahkan dari tubuhnya, lalu dikupas kulit luarnya yang keras dan dicuci sampai bersih. Setelah minyak dituang, pertama-tama kepala udang diremuk di atas talenan, kemudian dilempar ke minyak. Kepala udang itu menjadi semacam bumbu dasar. Untuk satu porsi nasi goreng dibutuhkan dua atau tiga kepala udang segar. Tergantung pada besar kecilnya kepala udang. Satu lagi, minyak yang dipakai untuk ngosu selalu minyak goreng dari kelapa.
Tiga orang lagi sampai ke giliranku mendapatkan seporsi nasi goreng yang menggegerkan kota ini.
Ketika warung ini mulai buka, hanya anak-anak kecil yang antusias menyambutnya. Kami yang sudah beranjak dewasa maupun orang-orang tua yang sudah cukup pengalaman dengan berdirinya warung-warung sejenis hanya merasa biasa saja. Paling-paling sama dengan yang dulu-dulu, begitu pikir kami. Tapi setelah berhari-hari, kabar tentang nasi goreng di warung ini semakin santer saja. ”Benar-benar nasi goreng Koh Su!” kata mereka yang sudah mencicipi.
Kemudian kabar tersebut segera meluas. Ditambah dengan hal-hal lain yang memperkuat kabar itu. Penjual baru itu, sampai sekarang kami tidak tahu namanya, sama seperti Koh Su, memasak nasi goreng seporsi demi seporsi. Penjual itu juga tidak melayani membungkus nasi goreng lebih dari dua bungkus. Ia juga hanya menjual kira-kira lima puluh porsi dalam semalam. Dimulai dari sehabis Magrib dan selesai sebelum pukul sebelas malam. Mereka yang mengantre harus menunggu di warung itu, kalau meninggalkan warung sebelum mendapatkan pesanan mereka, dianggap tidak jadi memesan.
Lalu kabar-kabar mulai bersayap, menerbangkan hal-hal lain. Ada orang yang bilang kalau penjual itu adalah anak kandung Koh Su. Konon, Koh Su yang pendiam itu mempunyai seorang istri dan anak di kota lain. Anak inilah yang mewarisi keterampilan Koh Su dalam membuat nasi goreng dan sekaligus mewarisi resep masakannya, terutama di dalam meramu saus berwarna coklat itu.
Sampai saat ini, tidak ada yang tahu namanya. Ia seperti datang tanpa nama, tinggal dan berjualan tanpa mengobral nama. Ia hanya datang bersama Mbeng dan seperangkat alat memasak, lalu mengontrak kios di dekat pasar yang sekaligus menjadi warung makan.
Kini tiba giliran nasi gorengku diracik dan dimasak. Dadaku berdebar.
Ketika kakekku penasaran karena orang-orang mulai membicarakan rasa nasi goreng dari warung yang baru berdiri itu, aku masih belum tertarik. Ketika kemudian kakekku menjajal dan membenarkan kelezatannya, aku tidak punya alasan lain untuk tidak penasaran. ”Bumbu dan caranya memasak sudah benar. Hampir mirip buatan Koh Su,” kata kakekku.
Bagi orang seusiaku, Koh Su jelas misteri besar. Cerita tentangnya mengambang di seluruh udara kota ini. Orang-orang yang mengalami nasi goreng Koh Su masih wasis bercerita saat aku masih kanak-kanak. Seluruh umurku yang berkaitan dengan nasi goreng adalah ngosu dengan bocoran resep dan tatacara yang tidak lengkap. Berasnya jelas tidak mungkin dari Ngandang, kadang minyaknya tidak menggunakan minyak kelapa. Dan yang pasti, kami tidak memakai saus berwarna coklat karena tidak tahu bagaimana cara membuatnya.
Ini sudah kali ketiga aku mencoba mengantre. Dua yang pertama, berakhir dengan lidah kosong. Setiap kali aku datang, antrean selalu penuh, dan Mbeng berkata dengan sopan, ”Maaf Mas, sudah habis.” Kali pertama aku datang jam sembilan malam. Kali kedua jam delapan. Kali ketiga ini, aku datang benar- benar saat Magrib usai. Itupun yang mengantre sudah banyak sekali.
”Dek! Dek!” suara pertanda akhir prosesi memasak terdengar. Piring dilumahkan. Nasi ditumpahkan di atas piring. Mbeng mengantar seporsi nasi goreng ke arahku. Hatiku nratab begitu menerima ulungan sepiring nasi goreng dari tangan Mbeng.
Aku memandang baik-baik nasi di depanku. Sempurna. Warnanya begitu menyentuh. Semua nasi berwarna sama, tercampur bumbu dan matang dengan rata. Baunya juga sempurna. Aku menyendok pelan nasi goreng di depanku. Aku memasukkan nasi ke mulutku…
Aku mampir di warung kopi Pak Pardiman. Kupikir, malam ini bisa semakin disempurnakan dengan ngopi dan ngobrol bersama banyak orang. Sampai di sana, suasana sudah sangat gayeng. Dari sepintas dengar, obrolan yang terjadi berkisar soal kelezatan warung nasi goreng yang baru kujajal itu. Semua orang bersepakat soal kelezatannya.
”Sudah sama dengan punya Koh Su, Pak?” tanya seorang anak muda.
”Hampir…” jawab Pak Pardiman.
”Kira-kira kurang di bagian mana?”
”Nasinya. Tapi bagaimana bisa dapat beras dari Ngandang?”
”Bukannya di Bangunrejo masih banyak sawah?”
Tidak ada jawaban dari mulut Pak Pardiman. Wajahnya tiba-tiba membeku. Dusun Ngandang sudah tidak ada lagi. Menurut cerita orang-orang tua, hampir semua penduduk Ngandang tersangkut peristiwa berdarah yang juga melenyapkan Koh Su. Lalu nama dusun itu diganti dengan nama Bangunrejo.
Setelah beberapa saat terdiam, sambil meracik kopi pesananku, Pak Pardiman mendesah, ”Seandainya saja itu hanya soal ganti nama…”
****
DISKUSI SASTRA PKKH UGM
Acara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda. Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum).