Kegiatan diselenggarakan pada:
Hari, tanggal: Kamis, 23 Juni 2016
Waktu: Pukul 15.30-17.30 WIB (ditutup dengan takjil berbuka puasa)
Tempat: Hall PKKH UGM, Bulaksumur
Pembahas:
Slamet Riyadi Sabrawi (sastrawan)
Jalu Norva Ila Putra (mahasiswa S2 Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya UGM)
Moderator: Anna Elfira
Kegiatan ini terbuka untuk umum dan gratis. Kami undang Anda sekalian untuk datang dan turut serta dalam perbincangan di diskusi nanti.
Salam.
***
NOCTURNO 1
:Flya
dan malam seperti telah mengenal kita, di sebuah bangku yang menghadap ke barat, kita sepakat menjadi kekasih sunyi. masingmasing kita tak mengerti muasal dari pertemuan, tetapi sepotong senyum yang kau hidangkan di meja membuat kesementaraan menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar.
dan dingin telah merasuk ke dalam tulang paling sumsum, seperti mengajak kita untuk saling mendekap, sekalipun tubuh kita masih saling berjaga. maka kita sepakat untuk memungut katakata yang berserakan di sepanjang pandang mata kita, di antara kakikaki meja, dan bangku tunggu yang bisu. sementara orangorang datang orangorang pergi, seperti sesuatu yang mengingatkan kita ikhwal segala hal yang mungkin terjadi.
dan bibirmu berhenti di tepi mulut botol air mineral yang kaupesan beberapa jam yang lalu, barangkali pertemuan membuat cuaca sedikit sumuk. sementara katakata berguguran dari langitlangit pemberhentian, sebelum kereta melanjutkan perjalanan menanggalkan malam, meninggalkan kita yang masih sibuk memilih pertanyaanpertanyaan.
dan pada akhirnya, kita telah sepakat menunjuk rel yang akan memberangkatkan segala kecemasan kita tentang malam, juga detik yang membuat detak sedemikian ganjil, sebelum lonceng kereta memaksa kita menyusun hurufhuruf untuk awal sebuah perbincangan. di luar, angin meruncing dan bersiap menikam dadamu, aku segera memilin sepi untuk berjagajaga.
dan secangkir kopi di genggamanku mulai kehilangan kepulannya, mengabarkan bahwa waktu seperti bilangan nisbi. kau mengajakku menerjemah hari yang mulai berganti, dan aku mengukur jarak langit dengan matamu.
Pustaka Senja, Purwokerto/2013.
NOCTURNO 3
–bukit bintang
apa yang mesti kita rayakan, selain kepingankepingan nafas yang segera tanggal, bersama kalender yang segera memucat itu? masehi sudah terlalu tua untuk kita jadikan petunjuk jalan, sebab kembara ini semacam rajutan kemungkinankemungkinan. tak usah kau bermimpi akan ada kunang yang datang menawarkan sebuah penginapan, sebab rumah adalah hati kita masingmasing. kerlip lampu jalanan bukan pertanda bahwa kepulangan adalah sesuatu yang kekal.
malam seperti perawan yang terlepas bajunya. sementara detik seperti daundaun yang gugur mendahului apa yang disabdakan musim. kemarau adalah dada kita yang berlubang, dan kepala kita yang selalu melupakan muasal kebermulaan. aku akan memesan rajah kepada langit, dan di menit kesekian kita rapalkan bersama kepada semesta, agar kita kembali pada tirakat yang semestinya kita jaga.
kau tak perlu tergoda oleh euporia itu. kembang api hanyalah wujud lain dari kekegersangan usia, dan terompet yang memecah sunyi di sebalik dada kita adalah eranganerangan dari pejalan yang lupa jalan pulang. lihatlah, kerlip lampu kota seperti kilatan kamera para skizofrenik di sebuah panggung yang kosong, mereka menertawakan kebodohannya sendiri. sementara mereka melacurkan hati untuk sebuah lelucon yang bacin.
duduklah di sini, hadapkan dadamu ke barat, pejamkan matamu, rasakan sentuhan angin yang perlahan menelanjangi tubuh kita, menyela dari ruas ke ruas, menyatu dengan aliran darah, membawa kita kepada ingataningatan saat alastu; sepenggal janji yang belum genap kita tunaikan. agar kita tidak tersesat dalam tahuntahun nisbi.
Pustaka Senja, Yogyakarta/2013.
LENGKUNG
saat malam telah berpulang, meninggalkan jejak yang tak terbaca, kepada siapa kita akan menengadahkan doa? sementara langit telah terlanjur memilih mimpinya sendiri. dan jalanan seperti pekuburan tua, tempat sunyi berjelaga.
saat gigil sedemikian ganjil, menanggalkan senyap di sebilah sayap malam, mantra apa yang akan kita rapal? sementara detik berjalan begitu cepat, seperti ingatan dan sesal yang melesat dari punggung waktu. dan kita seperti bocah yang kehilangan riang hujan, memaksa kita mengemas ribuan tanya.
barangkali, kita memang harus melupakan hapalan tentang nama dan arah. sebab semua seperti hitungan nisbi, tak menyisakan alamat untuk kita kembali. atau kita mungkin perlu berguru kepada angin yang menuliskan nasibnya sendiri di jalanan yang menyusun sebuah riwayat, agar kelak kita tidak tercatat sebagai kembara yang cacat.
Pustaka Senja, Yogyakarta/2014.
NUJUM
masehi telah menua sayang. berapa banyak kitab luka yang kautadarusi dengan dada berlubang? langit telah piatu. jalanan kerontang, dan orangorang lupa pada bau tubuhnya sendiri, padahal senja menyisakan aroma tanah yang tersayat luka.
malam telah tanak, sampai kepulan ke berapa lagikah kita akan mengemas mimpi, memilin kenangankenangan yang patah, juga merapalkan doadoa yang sumbang? tidakkah kau belajar pada pohonan yang mengacungkan alif ke langit, lalu mengekalkan lam ke akarakarnya dan setiap jengkal batang, lalu semesta mendengungkan mim lewat daundaun yang jatuh satusatu menciumi pipi tanah?
kalender, berapa banyak daun yang akan tanggal malam ini? sebelum musim mengabarkan sabda, sebelum kemungkinankemungkinan berubah sesal yang menyesakkan. lihatlah, angin begitu angkuh, padahal banyak pejalan yang tak tahu arah jalan, dan kunang tak memberi kabar ke arah mana dada ini dihadapkan semestinya.
aku belum menemukan hurufhuruf untuk kita tenun menjadi selimut, agar ketika malam mengelupas, kita tak akan merasakan gigil paling ganjil. dan kapankah kita akan menemukan semburat jingga di kejauhan, yang menjadi isyarat tentang cinta yang mulai berkarat?
Pustaka Senja, Yogyakarta/2014.
KUDUS
–cinemarebel
kita terlahir dari waktu yang telanjang. di hari ke delapan. dengan tubuh tanpa sehelai tanya yang memaksa kita menghapal nama dan arah. jauh sebelum khidir menemukan laut di dadanya, dan yusuf belum menjelma irisan apel yang menyisakan darah di kelingking waktu.
kita telah saling berpagut. seantara kita hanya separoh jengkal ruang yang mengering. sebab terlalu lama kita menelanjangi musim. padahal nafas kita sudah saling menandai. malam, kini tinggal sebatas ranjang dan separuh bulan yang meredup dan menempel di dagumu. kau memintaku melumatinya agar kalender basah; jisim kita menyatu. sementara khuldi di dadamu sudah kau siapkan untuk sebuah perjamuan.
kita sepakat menarik gorden di kecupan kesekian. lalu kita balutkan di tubuh malam. agar nganga luka bisa tertutupi sepenuhnya. kau sedikit membukakan sebuah pintu yang menyimpan ribuan tanya, di mana saat aku mulai memasukinya, katakata akan muncrat, berlesatan ke langitlangit kamar, menjadi ribuan hujan, dan dada kita sama basahnya.
Pustaka Senja, 2013.
***
Dimas Indiana Senja, lahir di Brebes 20 Desember 1990. buku puisinya Nadhom Cinta (2012), dan Suluk Senja (2015). buku esainya Sastra Nadhom (2016). pengasuh komunitas Pondok Pena.