• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • IT Center
  • Perpustakaan
  • Penelitian
  • Webmail
  • Hubungi Kami
Universitas Gadjah Mada Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Tentang Kami
    • Visi dan Misi
  • Berita
  • Kegiatan
    • Arsip
    • Unduhan
  • Fasilitas
  • Galeri
  • Beranda
  • Event
Arsip:

Event

23rd Yogyakarta Gamelan Festival 2018

ArsipArtikelBeritaEvent Friday, 13 July 2018

  

Pada awal abad ke-21, musik gamelan berkembang dengan pesatnya. Di banyak negara di dunia, seni musik gamelan hidup dengan indahnya. Musik gamelan klasik (gendhing) hidup berdampingan dengan musik gamelan. Gamelan memainkan sebuah peran vital dalam kebudayaan dunia. Itulah mengapa gamelan sangat terbuka lebar untuk didialogkan, dibagikan, dikolaborasikan dengan berbagai jenis musik. Hal yang penting di sini adalah semangat kebersamaan. Berhubung grup-grup gamelan di banyak negara aktif secara budaya, sangatlah penting bagi pecinta gamelan di seluruh dunia untuk dapat berkomunikasi satu sama lain.

Sebagai bagian Festival Kesenian Yogyakarta pada tahun 1995-1997, Yogyakarta Gamelan Festival mempersembahkan grup-grup dan seniman-seniman gamelan dari seluruh dunia baik dalam konser, siaran, seminar maupun pameran. Pada tahun 1998, sehubungan dengan adanya iklim politik yang tidak stabil, maka Yogyakarta Gamelan Festival terpaksa dibatalkan. Mulai tahun 2001, Yogyakarta Gamelan Festival diselenggarakan secara independen hingga sekarang. Festival ini dirancang sebagai pertemuan internasional bagi para pemain dan pecinta gamelan dengan konsep pergerakan budaya.

ART NET 2018

ArtikelBeritaEvent Tuesday, 15 May 2018

Menyemarakkan lebaran seni rupa Yogyakarta, ada satu agenda menarik yang sayang untuk dilewatkan: Jogja Art Network ART NET visual art exhibition—program kerjasama PKKH dengan Jejaring Art Management memamerkan karya-karya dari 25 seniman kenamaan asal Yogyakarta. Pembukaan berlangsung hari Minggu 6 Mei 2018 Pkl. 19.00 dan pameran sendiri berlangsung hingga 19 Mei. Buka setiap hari Pkl. 10.00-20.00. Gratis dan terbuka untuk umum!

Nada Dunia bersama Ayu Laksmi

ArtikelBeritaEvent Tuesday, 15 May 2018

Nada Dunia: Dari Kekaryaan ke World Music Ayu Laksmi

Nama Ayu Laksmi belakangan dikenal khalayak sebagai aktris. Lewat film besutan Joko Anwar, “Pengabdi Setan”—Ayu populer dengan karakter ‘ibu’. Di film lainnya, Ayu kembali berperan sebagai seorang ibu bagi sepasang anak kembar, bertajuk “The Seen and Unseen” karya Kamila Andini. Namun demikian, jauh sebelum karier keaktorannya bermula, Ayu lebih dahulu dikenal sebagai World Music Diva lewat performance dan album yang diluncurkannya, Svara Semesta. Dalam forum Sesrawungan kali ini, PKKH mengundang Ayu Laksmi untuk berbagi pada publik mengenai Svara Semesta, proses kreatif, serta pandangannya mengenai world music.

Forum Sesrawungan kali ini akan berangkat dari penjelajahan kreatif Ayu Laksmi. Bagaimana musik tradisi Bali memengaruhinya karya-karyanya, baik itu dari instrumen, laras/notasi sampai sejarah musik Bali. Kemudian forum akan bergerak ke pembacaan Ayu terhadap lema world music dan kaitannya dengan lagu-lagu pada album Svara Semesta. Apakah Ayu sengaja menautkannya dengan titel world music atau bagaimana sesungguhnya pembacaan Ayu terhadap genre baru ini? Tidak lupa proses penciptaan lirik dan aransemen lagu-lagu pada Svara Semesta dipandu oleh Michael HB Raditya (peneliti di LARAS Studies of Music in Society).

Diskusi Sastra Nasional PKKH Edisi Kedua: Melihat Api Bekerja bersama Esha Tegar Putra

ArtikelBeritaEvent Thursday, 19 April 2018

Bagaimana ruang dan kota dapat mengubah, bahkan memakan manusia-manusia yang tinggal di dalamnya? Kumpulan puisi dalam buku Melihat Api bekerja (Gramedia, 2015) secara lugas menggambarkannya. Edisi Diskusi Sastra Nasional PKKH edisi April kali ini akan membahas lima puisi Aan Mansyur; “Menunggu Perayaan”, “Memimpikan Hari Libur”, “Sejam Sebelum Matahari Tidak Jadi Tenggelam”, “Pameran Foto Keluarga Paling Bahagia”, dan “Melihat Api Bekerja” bersama Esha Tegar Putra (sastrawan nasional) dan M. Alfian (mahasiswa pascasarjana ilmu sastra FIB UGM). Agendakan dari sekarang, Rabu, 25 April 2018 Pkl. 18.30 di Hall PKKH UGM. Acara ini gratis dan terbuka untuk umum.

Unduh: Melihat Api Bekerja dan Sajak-Sajak Aan Mansyur

Unduh: Membangun Ruang Untuk Kenangan Dengan Membiarkan Api Membakar Seluruh Kota
Sebuah ulasan oleh Esha Tegar Putra

Unduh: Pembacaan Puisi Menyeberang Jembatan Karya Aan Mansyur, Suatu Usaha Mengenali Subjek
Sebuah ulasan oleh M. Alfian

Forum Umar Kayam: Kelindan Budaya Pop dan Aktivisme

ArtikelBeritaEvent Tuesday, 20 February 2018

PengantarBelakangan, kata aktivisme menjadi terminologi yang sering diperbincangan di berbagai kalangan dan media. Aktivisme, bukan istilah baru sebetulnya. Aktivisme berakar dari kata “aktif”—sebuah kata dengan makna yang sangat luas, mulai dari terlibat dalam aksi, partisipasi, sibuk, bergerak, sesuatu yang melibatkan usaha, sampai sesuatu yang menyebabkan perubahan atau berpengaruh. Bentuk aktivisme yang sering dikenal biasanya berupa aksi langsung; seperti kampanye, protes, boikot, demonstrasi, pemogokan, dan lain-lain. Namun, banyak juga bentuk aktivisme yang dapat dilakukan sehari-hari seperti membentuk komunitas, mempromosikan gagasan atau pesan melalui tulisan atau medium-medium kreatif lainnya, menulis surat atau petisi, menghadiri pertemuan atau diskusi publik, dan masih banyak lagi.

Meski ada banyak cara untuk melakukan aktivisme, secara umum kita dapat bersepakat bahwa kita melakukan aktivisme untuk mewujudkan perubahan yang kita inginkan, mulai dari perubahan-perubahan kecil hingga perubahan besar yang mungkin membutuhkan usaha dan dukungan dari banyak pihak. Keterlibatan media digital dalam aktivisme telah menjadi daya pendorong perubahan di masyarakat. Dari Arab Spring sampai Indignado di Spanyol dan gerakan Occupy Wall Street sampai pada Malaysia Bersih adalah rentetan fenomena yang belakangan menjadikan media digital sebagai salah satu faktor pendorong dan aspek penting dalam aktivisme.

Di Indonesia, melalui mailing list (milis) seperti Apa Kabar Indonesia misalnya, sangat marak pada akhir periode 1990-an. Melalui milis ini, para aktivis serta pendukung pro-demokrasi saling bertukar berita dan informasi. Tercatat, sebanyak 250.000 pembaca dari 96 negara mengakses Apa Kabar Indonesia. Seperti yang kita tahu belakangan, munculnya gerakan #KoinUntukPrita, Cicak VS Buaya sampai #saveAhok menjadi penanda bahwa aktivisme digital ini berkembang dan semakin meluas. Sekarang kita pun semakin familiar dengan situs-situs crowd funding yang mengupayakan penyelesaian masalah berdasarkan solidaritas bersama. Tren aktivisme digital menjadi semakin marak seiring dengan meningkatnya akses masyarakat terhadap jaringan internet, kepemilikan perangkat, serta perkembangan jejaring sosial.

Sebelum media digital berkembang pesat, infiltrasi budaya populer dalam aktivisme juga memiliki peranan besar dalam mendulang simpati massa. Lagu Give Peace a Chance yang dinyanyikan Lennon menjadi penanda ikon budaya populer terlibat dalam aksi massa yang menolak perang Vietnam. Ada pula lagu We Shall Overcome yang terkenal sebagai ‘lagu protes’ dimanfaatkan dalam gerakan hak asasi manusia—kemudian menjadi judul gerakan itu sendiri yang digawangi oleh para musisi dan pegiat budaya. Di Indonesia sendiri, gerakan mendorong isu kesetaraan gender dan hak atas tubuh diprakarsai oleh sejumlah seniman asal Jakarta dengan memproduksi video dan lagu bertajuk Tubuhku Otoritasku. Gerakan Bali Tolak Reklamasi (ForBali) menjadi salah satu contoh aktivisme di mana budaya populer gencar dimanfaatkan. Sudah empat tahun, warga lokal, anak muda, seniman menolak dengan tegas reklamasi Teluk Benoa. Berdasarkan analisis mereka, reklamasi tidak akan berdampak baik bagi lapangan pekerjaan dan justru merusak ekosistem semata demi ekspansi bisnis para pengembang.

Perjalanan ForBali kini viral dengan jejaring massa baik online dan offline yang semakin meluas. ForBali ini mengelaborasi peran media digital dan budaya populer dalam aktivismenya. Nyatanya banyak anak muda yang semula enggan bergabung dalam gerakan, kemudian menganggap aktivitas ini sebagai seuatu yang keren dan menjadi militan.

 

Dalam Forum Umar Kayam edisi kali ini, PKKH mengundang Rudolf Dethu (penulis, manajer band dan aktivis yang terlibat dalam ForBali) sebagai pembicara. Dethu juga menggarap sebuah forum bertajuk Muda Berbuat Bertanggung Jawab dan Rudolf Dethu Showbiz. Yang pertama adalah forum pluralisme yang ia dirikan karena kepeduliannya terhadap fundamentalisme agama yang semakin kuat di kalangan pemuda Indonesia, sementara yang kedua merupakan panggung (gigs) di mana ia menelurkan musisi yang diasuhnya.

Forum Umar Kayam kali ini akan berkutat dengan pertanyaan seputar; Bagaimana strategi dan model gerakan yang dilakukan oleh Dethu sejauh ini? Bagaiman perkawinan antara media digital dan budaya populer mendorong efektivitas dalam aktivisme? Seberapa luas solidaritas bisa dimaknai, sementara representasi media digital telah semakin dominan? Menarik relasinya dengan aktivisme di tempat lain seperti Kendeng atau Kulon Progo, sampai di mana fungsi budaya populer? Apakah ia mampu membesarkan isu dan mendorong jejaring antar gerakan?

Acara ini akan diselenggarakan pada hari Selasa, 27 Februari 2018 Pkl. 14.30 di Ruang Bonang PKKH dan dimoderatori oleh Irfan R. Darajat, alumnus program pascasarjana Kajian Budaya dan Media, pegiat Laras-Studies of Music in Society dan personil grup band Jalan Pulang asal Yogyakarta.

 

Diskusi Sastra Nasional Edisi Perdana 2018 Bersama M. Aan Mansyur

ArtikelBeritaEvent Wednesday, 14 February 2018

 

Diskusi Sastra Nasional Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri kembali hadir, sekaligus menjadi edisi perdana di tahun 2018. Edisi 2017 kita telah berjumpa dengan begitu banyak cerpen menarik. Tahun ini, puisi-puisi dari penyair kebangaan tanah air akan bertemu dengan penggemarnya di lingkungan civitas akademika UGM.

Masih meneruskan format acara yang telah bergulir, maka kali ini karya Halim Bahriz (yang pada edisi terakhir 2017 menjadi pembahas) akan diulas oleh M. Aan Mansyur dan Damay Rahmawati.

Senang sekali rasanya bila Anda turut hadir dan berpartisipasi dalam forum diskusi sastra ini. Sampai bertemu nanti di Kamis, 15 Februari Pukul. 18.30 di Hall PKKH.

Berikut kami tampilkan (dalam tautan) puisi-puisi karya Halim Bahriz yang akan dibahas dalam forum. Kedua pembahas juga telah memberikan ulasannya, simak ulasan M. Aan Mansyur bertajuk Bahasa yang Kehilangan Hasrat Menjadi Puisi dan ulasan Damay Rahmawati bartajuk Percakapan Egoisme dan Hati Nurani.

“SELIR SULANDRI” Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM

Event Monday, 4 September 2017


Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM akan kembali digelar!

Sulandri, gadis remaja jelita yang tidak tahu apa-apa dibawa ke istana. Diantar oleh ayah dan keluarganya, Sulandri dipersembahkan pada sang raja. Di dalam istana, semua orang memperlakukan Sulandari dengan baik, segala kebutuhannya juga dipenuhi. Sulandri akhirnya tahu bahwa ia akan menjadi selir raja. Di tengah kebingungan, ia terus menerka-nerka apa yang akan terjadi hari demi hari. Ia mulai memahami bagaimana melayani sang raja dengan baik. Kepandaiannya membuat Sulandri menjadi selir kesayangan raja. Perbedaan perlakuan raja pada Sulandri membuat selir lain cemburu. Terlebih ketika raja tidak mengambil selir baru. Suatu malam, Sulandri terbangun dan terhenyak menyaksikan peristiwa pembunuhan sang raja oleh adik tirinya.

***

Edisi September 2017 membahas cerpen karya I Made Iwan Darmawan (Bali), berjudul “Selir Sulandri”.

Kami mengundang Anda untuk hadir pada diskusi yang akan diselenggarakan pada:
Rabu, 6 September 2017
Pukul 19.00 WIB-selesai
Di Hall PKKH UGM, Bulaksumur

Pembahas:
Linda Christanty (Jakarta)
Iwan Saputra (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)

Moderator: Ramis Rauf (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)

Permbaca Cerpen: Bambang Darto (seniman)

Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.
Sampai jumpa!

Silakan klik tautan berikut:
1. Untuk mengunduh cerpen (format pdf) Cerpen Selir Sulandri_I Made Iwan Darmawan
2. Untuk mengunduh ulasan Linda Christanty tentang cerpen Selir Sulandri (format pdf) Catatan tentang cerpen Selir Sulandri oleh Linda Christanty

Tentang pengarang
I Made Iwan Darmawan sempat mengenyam pendidikan di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (1987) dan sempat pula di Fakultas Film dan Televisi (FFTV) Institut Kesenian Jakarta (1992). Jalur jadi penulis ia lewati dengan bekerja sebagai wartawan, fotografer dan redaktur di koran Bali Post (1997-2009). Rentang liputan yang luas, mulai dari politik hingga budaya, membuatnya banyak belajar tentang kehidupan masyarakat Bali secara utuh.

Setelah membaca banyak literatur, berdiskusi dengan banyak ilmuwan dan mengamati secara langsung kehidupan nyata, ia memutuskan untuk menulis novel. Dengan kerja keras, dalam waktu sebulan sudah rampung. Namun karena ingin memberikan yang terbaik pada pembaca, secara serius selama berhari hari, hingga 7 bulan ia melakukan editing. Baginya setiap hal yang diungkap dalam novelnya, walau fiksi, harus ada rujukannya, artinya ia harus membaca lagi banyak buku untuk memberi keyakinan bahwa apa yang ditulisnya itu tepat. Akhirnya Maret 2010 Gramedia Widiasaran Indonesia (Grasindo) novel ini dalam judul AYU MANDA.

Dalam bidang kepenulisan, karya esai dan cerpennya pernah dimuat di majalah Jakarta-Jakarta, majalah Humor, Suara Pembaruan, Koran Tempo, Bali Post. Dua karyanya, Cerbung Ritus Legong dan Cerpen Selir Sulandri menjadi juara di majalah Femina tahun 2004.

Tentang pembahas
Linda Christanty seorang penulis dan jurnalis Tulisannya telah diakui oleh berbagai penghargaan termasuk penghargaan sastra nasional di Indonesia (Khatulistiwa Literary Award 2004 dan 2010), penghargaan dari Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional (2010 dan 2013), dan The Best Short Stories version oleh harian Kompas (1989). Esainya “Kekerasan Militer dan Kekerasan di Timor Lorosa’e” memenangkan Penghargaan Hak Asasi Manusia untuk Karya Terbaik pada tahun 1998. Dia juga menulis naskah untuk drama tentang transformasi konflik, bencana dan perdamaian di Aceh. Ini dilakukan di Forum P.E.N Dunia (P.E.N Japan and P.E.N International Forum) di Tokyo, Jepang (2008). Dia menerima penghargaan penulis Asia Tenggara, S.E.A Write Award, pada tahun 2013.

Sayap Kabut Sultan Ngamid

Event Wednesday, 3 May 2017

Diskusi Sastra Nasional PKKH UGM Edisi Mei 2017 akan membahas cerpen karya Triyanto Triwikromo (Semarang), berjudul “Sayap Kabut Sultan Ngamid”.

Diskusi yang akan diselenggarakan pada:
Rabu, 10 Mei 2017
Pukul 19.00 WIB-selesai
Di Hall PKKH UGM, Bulaksumur.

Pembahas:
AS Laksana, sastrawan (Jakarta)
Isna Maylani, mahasiswa S2 Ilmu Sastra UGM

Moderator: Mira Utami

Menampilkan: Anes Prabu Sadjarwo (pembaca cerpen)

Acara ini terbuka untuk umum dan gratis.
Sampai jumpa!

Silakan klik tautan berikut:
1. untuk membaca cerpen “Sayap Kabut Sultan Ngamid”: https://www.facebook.com/notes/pkkh-ugm-koesnadi-hardjasoemantri/sayap-kabut-sultan-ngamid/1823405071253948/

2. untuk membaca ulasan dari para pembahas cerpen “Sayap Kabut Sultan Ngamid”:
https://www.facebook.com/events/128741867673059/

Tabik,
PKKH UGM

===============
Tentang Diskusi Sastra PKKH UGM
Acara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda. Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum).
Mulai tahun 2017, program ini akan bersifat nasional dengan melibatkan sastrawan-sastrawan dari luar Yogyakarta.

Diskusi Kritis Mengenai Fenomena Dunia Maya

Event Saturday, 22 April 2017

Forum Umar Kayam Nasional PKKH UGM bertajuk “Meme dan Persebarannya: Diskusi Kritis Mengenai Fenomena Dunia Maya” akan menghadirkan tiga pembicara:
1. Agan Harahap (seniman)
2. Budi Irawanto (dosen program studi Ilmu Komunikasi UGM)
3. Seno Gumira Ajidarma (dosen Institut Kesenian Jakarta/IKJ)
Perbincangan ini akan dimoderatori oleh Dyna Herlina (dosen Ilmu Komunikasi UNY).

Acara akan diselenggarakan pada:
Kamis, 27 April 2017
Pukul 09.00 WIB – selesai
Di Hall PKKH UGM, Bulaksumur

Acara ini gratis dan terbuka untuk umum.

******
Kisi-kisi Seminar
Meme menjadi salah satu fenomena internet yang sempat populer di masa pemilu presiden maupun pilkada di Indonesia akhir-akhir ini. Ia sebagian digunakan sebagai alat kampanye oleh tim sukses masing-masing pihak yang terlibat dalam kontestasi dalam pemilihan pimpinan politik itu, tetapi juga digunakan oleh warga negara sebagai salah satu cara partisipasi mereka dalam memenangkan calon presiden ataupun calon gubernur yang menjadi pilihan mereka. Tentu fenomena yang demikian tidak hanya muncul di Indonesia. Bahkan, dapat dikatakan, bahwa yang muncul di Indonesia merupakan bagian saja dari kecenderungan yang terjadi di berbagai negara di dunia, yang tentunya juga sudah terkomputer dan terinternetkan. Sesuai dengan keluasan jaringan internet yang mengglobal tersebut, meme yang muncul di satu negara dapat disukai oleh pengguna internet dari berbagai belahan dunia lainnya.

Yang kemudian menarik untuk dipertanyakan adalah kenapa—khususnya dalam kasus Indonesia di atas—bentuk ekspresi dan/atau komunikasi yang demikian bisa dikatakan menjadi lebih populer daripada bentuk-bentuk ekspresi/atau komunikasi yang lain, meskipun semuanya sama-sama menggunakan media internet. Kebutuhan apa yang bisa dipenuhi oleh meme dan tidak bisa dipenuhi oleh yang lainnya? Bisakah dikatakan bahwa meme merupakan bentuk ekspresi dan/atau komunikasi yang paling pas/sesuai/mengena bagi sensibilitas masyarakat dan kebudayaan yang berbasis komputer dan media internet yang antara lain disebut sebagai budaya cyber itu? Atau, meme itu sebenarnya merupakan kecenderungan spesifik dari budaya populer dan budaya anak muda? Ataukah, fenomena tersebut juga terkait tidak hanya dengan budaya cyber yang bersifat global di atas, melainkan juga berhubungan dengan kecenderungan-kecenderungan budaya setempat? Kalau meme dapat juga dikategorikan sebagai salah satu karya seni, kecenderungan estetik apa atau yang bagaimana yang diaktualisasikannya?

*****
Tentang Forum Umar Kayam
Adalah program diskusi yang diselenggarakan oleh PKKH UGM, yang mencoba membawa semangat dan modus operandi dari almarhum Umar Kayam. Pada masanya, alm.Umar Kayam mampu merangkul tiga elemen utama (akademisi, seniman, dan jurnalis) dalam memperbincangkan aneka persoalan, secara santai namun serius. Forum diskusi ini adalah upaya untuk menjadikan PKKH UGM sebagai tempat yang cair, tempat bertemunya orang-orang dengan beraneka latar belakang membicarakan hal-hal berkenaan dengan kebudayaan dan praktiknya terkini.
Mulai 2017, PKKH menyajikan perubahan format Forum Umar Kayam, dengan menghadirkan pembicara dari luar Yogyakarta. Payung tema yang dipilih adalah seputar cyber culture.

Jembatan dan Yang Tetapi

Event Tuesday, 7 March 2017

Diskusi Sastra PKKH UGM kembali digelar. Edisi perdana 2017 akan membahas cerpen karya Muhammad Qadhafi, bertajuk “Jembatan dan Yang Tetapi”.

Acara akan diselenggarakan pada:
Sabtu, 25 Maret 2017
Pukul 19.00 WIB-selesai
Di Hall PKKH UGM

Pembahas:
Triyanto Triwikromo (Sastrawan)
Antonius Hendrianto (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)

Pembaca cerpen:
Naomi Srikandi

MC dan Moderator:
Anggun Nirmala Safitri

Acara ini terbuka untuk umum dan gratis. Akan menjadi kegembiraan kami jika Anda menghadirinya.

 

Jembatan dan Yang Tetapi

Cerpen Muhammad Qadhafi

Yang di bawah jembatan menyeru-nyeru, menyepak pikiranku dari lamunan yang keras kepala.

“Oei… tahan… jangan lompat! Jangan bunuh diri!” Kemudian kata-kata lain menyusul, kurang jelas terdengar.

Tetapi justru teriakan mereka itulah yang hampir membunuhku. Yang mengejutkanku. Yang membuat pantatku bergeser dari tiang pembatas jembatan. Padahal aku sendiri tidak sedang berniat mati dekat-dekat ini.

Dan menghambur-hamburkan napas bukanlah cara canggih membela diri. Maka, aku melongok ke bawah jembatan, ke arah mereka, tersenyum wajar, lalu menyulut sebatang rokok. Dengan sesantai mungkin. Dan cukup dengan begitu, pikirku, mereka akan langsung mengerti bahwa tak ada tanda-tanda kedatangan Maut dari senyum dan caraku merokok.

Tetapi mereka tetap menyeru, melambai-lambaikan tangan, membuatku kembali merasa sedang berdiri pada papan loncat kolam renang, sedangkan mereka adalah para turis, para penonton, yang histeris, yang menanti aksi terjun ke kolam. Dan bunyi sirine mendekat, membuka konser di kolam renang.

***

Karena bus jurusan Semarang-Solo yang kunaiki batal transit di terminal Kartasura, mau tidak mau aku terpaksa turun di pertigaan yang asing. Lalu aku berjalan dungu—memutar-mutar leher sambil misuh.

“Su… ok! Tak ada bus Solo-Jogja yang lewat.”

Dan keletihan berusaha keras mengambrukkan kakiku, mengaburkan penglihatanku. Juga kemarau. Juga debu-debu yang sedang belajar terbang. Hingga sulit bagiku mengendalikan gumaman, muntahan kosakata binatang.

Maka kuluruskan kaki di kursi angkringan tepi jalan. Maka perlu memesan teh panas dan meminumnya sambil diselingi merokok. Maka ketenangan pulang ke tubuhku. Maka aku percaya, asap rokok dan teh panas bersahabat karib. Maka mereka bekerja sama menjinakkan seluruh binatang pisuhan dalam mulutku.

Setelah memuji persahabatan aneh antara rokok dan teh dalam hati, kemudian aku bangkit. Kemudian membayar dengan receh. Kemudian menanyakan halte bus Solo-Jogja terdekat. Kemudian penjual angkringan menerangkan dengan gerak telunjuk dan kata-kata sopan, bahwa aku dapat lebih cepat menyeberang langsung. Tanpa zebracross, tanpa jembatan penyeberangan, dan memang demikianlah orang-orang di sekitarku ketika itu menyeberang. Dan mereka tetap selamat hingga seberang jalan.

Walau semula berniat mencontoh etika para pelanggar lalu lintas, tetapi niatan itu segera sirna. Sebab jalan di hadapanku sedang ramai-ramainya. Sebab orang-orang berkendara seperti dalam perlombaan, bersalip-salipan, dan pantang terlihat lamban. Bahkan angin dan asap knalpot—yang berebut menampar-nampar wajahku—turut campur melukai nyaliku.

Meskipun penglihatan jarak jauhku terhadap huruf dan wajah orang lain cukup mengecewakan, tetapi, setidaknya, aku masih mampu memastikan bahwa sekitar 100 meter dari kananku berdiri sebuah jembatan layang. Daripada menyeberang sekenanya (tanpa berkeyakinan bahwa Tuhan akan melindungi orang-orang yang melanggar lalu lintas), kupikir jembatan layang adalah solusi terbaik untuk orang semacamku: pengecut, kurang olah raga, dan sering terlambat.

Setiba di hadapan besi-besi jembatan yang pesing dan karatan, aku terdiam sejenak, membayang-bayangkan. Barangkali, yang paling merasakan manfaatnya hanyalah orang yang butuh tidur dan kencing gratis di malam hari.

Bagaimana pun juga, akhirnya aku memanjat dua puluh anak tangga yang yatim itu, yang tidak pernah mendapat kasih sayang lelaki mana pun. Dengan terengah-engah aku melangkah, semakin ke atas. Sedang mereka tetap dingin dan diam. Mungkin karena aku bukan ayah yang mereka nantikan. Sejenak menghela napas panjang, kemudian karena kupikir masa depan anak-anak tangga itu bukan berada di tanganku, maka kutinggalkan mereka.

Ketika menapaki bentang jembatan, aku merasa tengah memijak lembaran seng yang dipaku sekenanya—yang bahkan jika terkena tempias hujan paling letih sekalipun, tetap akan menyalak bunyinya. Barangkali orang-orang tertentu mengerti itu, terutama para pekerja proyek jembatan layang yang kini sedang menawarkanku kemungkinan terjeblos sedalam enam meter dengan omnivora-omnivora beroda yang siap menyambarku tanpa ampun di bawahnya.

Dengan kecemasan yang masuk akal, aku menepi, mencari sisi kokoh jembatan. Dengan tangan kanan memegang pagar jembatan dan tangan kiri menutup hidung, aku menitinya perlahan. Saat itulah terdengar langkah berat dari belakang.

Lalu aku menoleh. Lalu terlihat seseorang muncul dari arah tangga, rambutnya pendek, berponi. Tetapi wajahnya merunduk, matanya sembunyi di balik poni. Sepertinya, ia laki-laki cengeng. Lalu ia putar badannya. Lalu duduk di antara tepi anak tangga dan tiang jembatan. Lalu aku malas menatap tengkuk dan singletnya. Lalu kuanggap saja dia bapak yang dinantikan para anak tangga itu. Lalu aku kembali meniti jembatan, mengabaikannya.

Setelah beberapa meter melangkah dan menutup hidung, aku terhenti. Sebab cahaya senja yang sedang merah-merahnya merayuku untuk mengaguminya. Lantas aku menghadap ke barat, menatap ketenangan senja. Dan aku teringat tentang pacarku.

Seperti pacarku, senja itu suka merayu dan cantik luar biasa di waktu-waktu tertentu. Tetapi, sayang, pacarku gampang cemburu. Dalam satu minggu, pacarku bisa cemburu sebanyak dua hingga tiga kali, sebanyak itu pula dia mengancam akan bunuh diri. Jika sudah begitu, bagaimana pun juga aku harus segera menemuinya (dia memberiku batas waktu 1×24 jam sejak ancaman bunuh diri itu diungkapkan). Dan biasanya aku selalu tepat waktu, selalu berhasil membuatnya kembali mencium bibirku dengan desahan cinta. Sesaat, semuanya kembali baik-baik saja. Sesaat, dia kembali suka merayu mesra. Sesaat, dia jadi cantik luar biasa. Sesaat, sebelum kemudian dia mengulang kecemburuan dan ancaman bunuh dirinya, lagi dan lagi, sebagaimana yang terjadi kemarin.

Jika ancamannya sungguh-sungguh, dalam dua tahun terakhir, tentu dia telah berutang hampir 200 nyawa kepadaku. Betapa mustahil seorang mahasiswi 24 tahun memiliki cadangan nyawa sebanyak itu. Kecuali, jika dia percaya bahwa nyawa lahir dari setiap hubungan iseng antara rindu dan cemburu. Tetapi, setelah kupikir-pikir, tampaknya memang benar begitu.

Yang jembatan, yang hubungan, yang ancaman, dan yang lain-lain—semuanya mungkin memang dibuat hanya karena (dan untuk) main-main. Sekilas aku meneliti waktu di pergelangan tanganku, dua jam lagi batas waktu yang ditentukan pacarku akan habis. Untuk apa menganggapnya serius? Untuk apa cemas? Untuk apa tepat waktu? Untuk menuruti keisengan pacarku?

Yang kuinginkan sekarang hanya main-main. Karenanya aku memilih untuk naik ke pembatas jembatan—nangkring tanpa memedulikan waktu, hubungan, keseriusan, ancaman, kepengecutanku sendiri, atau hal-hal lain selain senja dan main-main. Semacam duduk telanjang dada di atas papan loncat kolam renang. Lalu iseng-iseng kukagumi senja sambil melamunkan hal-hal menyenangkan yang belum sempat kuandaikan sebelumnya. Terus berandai-andai. Terus.

“Jangan lompat!” Yang di bawah jembatan menyeru-nyeru, menyepak pikiranku dari lamunan yang keras kepala.

***

Tetapi lama-kelamaan, kudengar kata “singlet putih”—terselip di antara rentetan kata lain yang bermuntahan dari mulut orang-orang di bawahku. Karenanya, aku jadi teringat kepada bapak para anak tangga. Lalu aku menoleh ke kanan. Tetapi, di tempat duduknya semula, hanya terlihat bayangan kaki menggantung-memanjang.

Maka aku pandangi atap jembatan. Dan kutemukan asal bayangan. Dan kaki itu terjun bersama pemiliknya.

Mungkin lompatan lelaki cengeng adalah bagian aksi panggung pembuka konser black metal. Diawali intro sirine monoton. Lalu suara serak vokalis polisi dari megaphone. Lalu percikan darah. Lalu penonton histeris. Lalu aku hampir saja tepuk tangan.

Tetapi, di bawah, benar-benar bukan kolam renang. Tetapi aku tetap ngotot menganggapnya aksi panggung kontemporer. Tetapi justru lantas berseliweran ingatan tentang para anak tangga yatim, tentang ancaman pacarku, tentang cemburu, tentang rindu, tentang keseriusan, tentang kenyataan, tentang rentang waktu di jam tanganku.

Yang kulakukan saat ini hanyalah berjongkok—menenggelamkan muka di antara kedua lututku sambil menggerakkan pemutar jam tangan, tanpa menatapnya, terus memutarnya melawan arah jarum jam, terus, hingga telapak yang kasar meraih tanganku. Dan kutatap kostum orang itu baik-baik. Betapa dia personil black metal yang formal. Dan aku minta tanda tangan. Tetapi dia menyeretku, turun jembatan.[*]

Kartasura-Janti
September 2015
[Joglosemar, 21 Februari 2016]

123…5
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri
Kampus Universitas Gadjah Mada
Jl. Pancasila No. 1, Bulaksumur, Sleman
D.I. Yogyakarta 55281, Indonesia
Email : pkkh@ugm.ac.id
Telp : +62 (274) 557317, +62 (274) 557317

© 2017 PKKH Universitas Gadjah Mada

AksesKontak

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY