Meski ada banyak cara untuk melakukan aktivisme, secara umum kita dapat bersepakat bahwa kita melakukan aktivisme untuk mewujudkan perubahan yang kita inginkan, mulai dari perubahan-perubahan kecil hingga perubahan besar yang mungkin membutuhkan usaha dan dukungan dari banyak pihak. Keterlibatan media digital dalam aktivisme telah menjadi daya pendorong perubahan di masyarakat. Dari Arab Spring sampai Indignado di Spanyol dan gerakan Occupy Wall Street sampai pada Malaysia Bersih adalah rentetan fenomena yang belakangan menjadikan media digital sebagai salah satu faktor pendorong dan aspek penting dalam aktivisme.
Di Indonesia, melalui mailing list (milis) seperti Apa Kabar Indonesia misalnya, sangat marak pada akhir periode 1990-an. Melalui milis ini, para aktivis serta pendukung pro-demokrasi saling bertukar berita dan informasi. Tercatat, sebanyak 250.000 pembaca dari 96 negara mengakses Apa Kabar Indonesia. Seperti yang kita tahu belakangan, munculnya gerakan #KoinUntukPrita, Cicak VS Buaya sampai #saveAhok menjadi penanda bahwa aktivisme digital ini berkembang dan semakin meluas. Sekarang kita pun semakin familiar dengan situs-situs crowd funding yang mengupayakan penyelesaian masalah berdasarkan solidaritas bersama. Tren aktivisme digital menjadi semakin marak seiring dengan meningkatnya akses masyarakat terhadap jaringan internet, kepemilikan perangkat, serta perkembangan jejaring sosial.
Sebelum media digital berkembang pesat, infiltrasi budaya populer dalam aktivisme juga memiliki peranan besar dalam mendulang simpati massa. Lagu Give Peace a Chance yang dinyanyikan Lennon menjadi penanda ikon budaya populer terlibat dalam aksi massa yang menolak perang Vietnam. Ada pula lagu We Shall Overcome yang terkenal sebagai ‘lagu protes’ dimanfaatkan dalam gerakan hak asasi manusia—kemudian menjadi judul gerakan itu sendiri yang digawangi oleh para musisi dan pegiat budaya. Di Indonesia sendiri, gerakan mendorong isu kesetaraan gender dan hak atas tubuh diprakarsai oleh sejumlah seniman asal Jakarta dengan memproduksi video dan lagu bertajuk Tubuhku Otoritasku. Gerakan Bali Tolak Reklamasi (ForBali) menjadi salah satu contoh aktivisme di mana budaya populer gencar dimanfaatkan. Sudah empat tahun, warga lokal, anak muda, seniman menolak dengan tegas reklamasi Teluk Benoa. Berdasarkan analisis mereka, reklamasi tidak akan berdampak baik bagi lapangan pekerjaan dan justru merusak ekosistem semata demi ekspansi bisnis para pengembang.
Perjalanan ForBali kini viral dengan jejaring massa baik online dan offline yang semakin meluas. ForBali ini mengelaborasi peran media digital dan budaya populer dalam aktivismenya. Nyatanya banyak anak muda yang semula enggan bergabung dalam gerakan, kemudian menganggap aktivitas ini sebagai seuatu yang keren dan menjadi militan.
Dalam Forum Umar Kayam edisi kali ini, PKKH mengundang Rudolf Dethu (penulis, manajer band dan aktivis yang terlibat dalam ForBali) sebagai pembicara. Dethu juga menggarap sebuah forum bertajuk Muda Berbuat Bertanggung Jawab dan Rudolf Dethu Showbiz. Yang pertama adalah forum pluralisme yang ia dirikan karena kepeduliannya terhadap fundamentalisme agama yang semakin kuat di kalangan pemuda Indonesia, sementara yang kedua merupakan panggung (gigs) di mana ia menelurkan musisi yang diasuhnya.
Forum Umar Kayam kali ini akan berkutat dengan pertanyaan seputar; Bagaimana strategi dan model gerakan yang dilakukan oleh Dethu sejauh ini? Bagaiman perkawinan antara media digital dan budaya populer mendorong efektivitas dalam aktivisme? Seberapa luas solidaritas bisa dimaknai, sementara representasi media digital telah semakin dominan? Menarik relasinya dengan aktivisme di tempat lain seperti Kendeng atau Kulon Progo, sampai di mana fungsi budaya populer? Apakah ia mampu membesarkan isu dan mendorong jejaring antar gerakan?
Acara ini akan diselenggarakan pada hari Selasa, 27 Februari 2018 Pkl. 14.30 di Ruang Bonang PKKH dan dimoderatori oleh Irfan R. Darajat, alumnus program pascasarjana Kajian Budaya dan Media, pegiat Laras-Studies of Music in Society dan personil grup band Jalan Pulang asal Yogyakarta.