Beberapa kalangan menandai Eka sebagai penerus Pramudya Ananta Toer. Secara terbuka, Eka mengakui sekaligus mengkritik hal tersebut, meskipun dalam tugas akhirnya ia mendedah tetralogi Pram. Ia mengkritik sudut pandang Pram yang tampak modernis dalam melihat hitam dan putihnya sejarah.
Eka disandingkan layaknya Gabrielle Garcia Marquez milik Indonesia. Karyanya banyak mengadopsi gaya realisme magis, membaurkan fiksi dan realitas dalam narasi yang kompleks. Franz Roh, seorang sejarahwan Jerman, menyebut ralisme magis sebagai kemampuan menciptakan makna (magis) dengan membayangkan hal-hal biasa dengan cara luar biasa. Namun demikian, Eka tidak sepenuhnya mengamini gaya realisme magis tersebut. Ia menyebut bahwa karya-karyanya lebih dekat ke pakem cerita horor Indonesia.
Jika demikian bagaimana Eka menjelaskan karakteristik karya dan proses kreatifnya? Bagaimana pula keterkaitannya dengan Pramoedya yang condong ke arah realisme sosialis?
Dalam Forum Umar Kayam kali ini, PKKH mengundang sastrawan Mahfud Ikhwan sebagai pemandu diskusi. Mahfud sendiri merupan cerpenis, novelis dan editor.