“Di Sebuah Lukisan Tentang Masa Depan”, Puisi-puisi Dwi Rahariyoso
Rabu, 16 Maret 2016
Pukul 19.30 WIB-selesai
Di Ruang Gong, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur
Pembahas:
Kuswaidi Syafiie (sastrawan)
Fitriliya Anjarsari (mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)
MC dan Moderator:
Muajiz Muallim
***
Di Sebuah Lukisan tentang Masa Depan
Di sebuah lukisan tentang masa depan,
pulau-pulau dan laut sepanjang cakrawala
menguap ke angkasa dalam seribu bingar masa lalu;
orang-orang yang dilahirkan; pohon-pohon
dan hutan kemudian ditebang diam-diam
sepanjang musim yang terik dipenuhi kegelisahan
sumur-sumur mengering, dan percakapan-percakapan
terdengar kasar di telinga dengan bermacam jenis binatang
yang berlarian mengaburkan pandangan
Sebuah mobil yang terbakar dan legenda-legenda naga yang
dibangkitkan dari sebuah buku bacaan asing yang diimpor
mengisi rak-rak perpustakaan tak ubahnya sebuah merk dagang
yang terus-menerus melakukan pemberontakan di dalam
tubuhku dan tubuhmu
Di sebuah lukisan tentang masa depan, matahari terbit
menyerap segala isi tanah termasuk pikiran-pikiran
tentang identitas yang kosong. Hidup seperti kemarau yang panjang
dan sunyi melepaskanku untuk berulang-ulang masuk dan keluar
dari tubuhku juga tubuhmu yang tidak pernah hidup untuk berbicara
tentang kebenaran, cinta, dan segelas kopi yang dihidangkan kedai-kedai
sepanjang jalan yang sudah kau gusur di masa lalu.
Di sebuah lukisan tentang masa depan, kita menciptakan kematian
dari pabrik dan mesin-mesin gagasan yang mereproduksi kenyataan
dan kita meninggalkan tubuh-tubuh kita di garasi, seperti rongsokan
yang tidak lagi gesit mencerna waktu yang mengeras layaknya batu
~ 2015
Migrasi
Aku menghitung burung yang bersarang di kepalaku
ketika hutan lebat dan pohon-pohon menghancurkan diri
bersama kemerdekaan yang dimakan rayap
Ketika anak-anak dilahirkan dalam jeda antara nyeri
biaya rumah sakit dan harga elpiji, waktu seperti acuh
menghasilkan angka-angka yang buntu
dari layar kaca pembangunan terus berlanjut menciptakan
utopia yang menyilaukan mata. aku melihat tubuh-tubuh
keluar dari televisi, mengecil dan beraneka macam
berjejalan di jalanan membawa tujuan masing-masing
kemudian terbakar lampu merkuri di petang hari
Aku menghitung burung yang bersarang di kepalaku
ketika sawah dan laut menghasilkan para sarjana dengan mimpi-mimpi
mereka yang eropa, tentang masa depan yang bisa mereka kemas
dalam sebungkus kentang goreng kering dan burger
dimana hati kecil mereka telah dikeringkan sebagai museum
untuk dijual kepada para kolektor dan investor yang menukarnya
dengan sebuah kebahagiaan bekas yang mereka datangkan dari
barat matahari
di televisi, indonesia tengah dibangun ulang seperti baris dan larik
puisi yang begitu syahdu dengan metafora-metafora berdasi yang
senantiasa panik berkaca agar tampak sempurna
lalu jakarta seperti sebuah pediangan raksasa yang menganga;
kayu-kayu dihisapnya menjadi cahaya yang membara termasuk
indonesia yang menghilang sekejap mata—tiba-tiba.
~ 2015
Merk Tubuh
aku mengganti tubuhku dengan sebuah baterai dan charger
sebab ingatan seperti kerupuk. semakin panjang semakin lapuk.
di halaman surat kabar, sebuah pabrik menjual tubuh
lengkap dengan perabotannya.
hidup semakin sulit dan tidak karuan, sebab pikiran-pikiran
yang membuat kekacauan seperti wabah, yang memorandakan
seluruh lapisan badan
tubuhku demikian kenangan. aku menyimpannya dalam sebuah
memori, agar kelak ia awet hingga ke masa depan
~ Yogyakarta, agustus 2015
anonim
sebuah mesin bekerja dalam kesadaranku. dengan bahasa
yang menghancurkan nostalgia ke dalam
bayang-bayang gelap masa lalu. seperti sebuah pabrik
yang berpindah secara mekanis ke dalam tubuhku.
seluruh kenangan ditebang. tubuhku bergerak ke depan
dan meninggalkan cermin sebagai hibrid yang dingin,
menguraikan perasaan-perasaan yang tak hendak
dijaga atau diketahui bahasa. larik dan matriks demikian
fana, sebab setiap saat pikiran mendaur-ulang bahasa
menjadi lampu-lampu, gedung-gedung menjulang, kemacetan,
jalan, lorong, gang, kekacauan, manusia-manusia yang hampa,
suara-suara yang berkerumun kemudian lenyap di ujung bibir.
~ Agustus 2015
Merayakan Kemerdekaan yang Kesekian
Ingatan segera lenyap dari kalender dan bayang-bayang kota
Menancap sepanjang trotoar yang disinari pendar merkuri
Hidup terasa berat dalam kehampaan dan ketidakmenentuan
Di langit kota yang gelap, cahaya bulan kehilangan waktu
Sebagaimana kardus-kardus bekas, botol-botol plastik yang
Memanjangkan hidup dari hari ke hari
Hujan yang membacakan kekalahan-kekalahan
Sepanjang emperan toko yang sepi, kemerdekaan mengubah
Wajahnya diam-diam seperti kerlip bintang yang jauh
Kemudian lenyap ke arah pagi lembab
Dengan selembar uang yang lesu
Orang-orang terbunuh dalam baju-baju bekas mereka
Hilir mudik memenuhi pasar senthir hendak membeli bekas
Kemerdekaan yang dipancarkan dari radio-radio transistor
Di sebuah musim penghujan yang tandus
Lihatlah kota ini seperti ujung dari hidup yang semakin asing
Memecah dirinya dengan warna dan diafragma
Dari sebuah power bank yang mengalirkan sejuta sperma
Revolusi berlangsung sepanjang hari
Orang-orang mencuci tubuhnya silih berganti dengan
Mimpi-mimpi dan kematian yang diciptakan masa depan
~ 2015
Pasar Senthir
Di pasar senthir, kota ini menyembunyikan ingatannya
kehidupan yang diam-diam bergerak di luar kemajuan
ketika hari berganti malam
lapak-lapak berjajar, dan parkir tidak terlalu sesak. Kau bisa
membeli ingatan atau menukarnya dalam sebuah romantisme
picisan seorang tua yang tersesat di masa depan.
atau sekedar memutar kaset-kaset lawas yang cukup membuatmu
tahu bahwa masa muda itu adalah kenangan yang disesalkan
Lihatlah sekeliling! Bekas-bekas hidup terkumpul di sini
dalam serpihan-serpihan tak terduga. Kenikmatan masa lalu,
barangkali hanya kau atau mereka yang tahu. demikian juga waktu,
silih berganti menunggu setiap harapan yang terpendar
dari lampu-lampu merkuri yang lolos menerobos
dahan-dahan angsana.
Tidak cukup uang, ah itu biasa. Menawarlah dengan saksama.
Kau akan mengerti betapa riang dan bahagianya sebuah pertemuan
terjadi, antara kau dan aku.
Sedangkan malioboro telah sunyi jam segini, mall-mall bergengsi
seperti tak hendak membagi keluh kesah hidup yang semakin fakir
di pasar senthir, di balik lahan parkir. Barangkali kebahagiaan hadir
dengan caranya yang nyinyir.
~ Yogyakarta, Agustus 2015
Nokturno
seribu kota tumbuh seperti koloni lebah
yang mendengungkan suara-suara tebing yang kering
dari jendela-jendela apartemen yang dipenuhi
para pengungsi yang kehilangan tubuhnya setelah
kelahirannya ke dunia yang fana
dalam gelombang waktu, manusia bermigrasi terus-menerus
di antara kepala dan meninggalkan tubuhnya yang kaku
di depan pintu toilet karena kehabisan sperma yang
meletup bersamaan dengan lahirnya imajinasi-imajinasi tentang
tuhan
ketika malam hari yang panas, buku-buku memenjarakan fagmen-
fragmen kehidupan masa lalu yang mengalir dari perpustakaan-
perpustakaan seperti sebuah senandung mars internasionale
yang gempita, “Inilah hidup! Mari kita bersatu!”
sekolah-sekolah mencetak pengetahuan digital, seperti ketakutan
terhadap sebuah mimpi yang mekanis tentang kehilangan
yang demikian laut pada diri manusia
seribu kota tumbuh dalam pikiran-pikiran dan batu-batu
dilemparkan ke udara, tidak ada yang benar-benar ditunggu
atau dituju selain kehilangan di ujung masa depan
~ 2015
Berbicara pada Pintu Kamarku
Pada pintu kamarku, aku menemukan ruang bersembunyi dari rasa tua
dan ketakutan akan hari esok yang kembali muda. Seperti waktu yang
benar-benar mengingatkanku pada keluarga yang jauh di sebuah album foto,
pintu kamarku adalah perjalanan bolak balik, mondar mandir, antara
sunyi di masa lalu ke arah sunyi masa kini. Peraduan asing yang sering
mencuri tubuhku ketika tidur, kemudian membongkarnya diam-diam
untuk menghapus masa lalu yang berbunyi nyaring ketika subuh menjelang.
Lalu aku terbangun dan sia-sia seperti sebuah kotak kardus yang dicampakkan
botol-botol minuman. Aku menjadi aku yang lain dalam sebuah perspektif
dingin yang dipenuhi hasrat kelamin.
Setiap kali pintu terbuka ke luar, sebuah nyeri menguar seperti irisan pisau
yang menyayat nasib. Tidak ada yang ke luar dan masuk ke dalam diriku
sebagaimana dirimu yang diam menghadang jarak antara waktu dan sebuah
kehilangan masa lalu. Bayang-bayang yang kita ciptakan adalah batas antara
dunia sehari-hari yang terus bercabang; dunia di dalam kamar yang sumpek
dengan keluasannya, dan dunia di luar kamar yang luas dengan kesumpekannya
seperti ribuan mercon yang meledak di jantungku ketika tahun baru
diumpakan sebagai batu yang membunuhku berulang-ulang.
Pada pintu kamarku, aku menulis namaku dalam tiga frasa yang kaku;
masa lalu, masa kini, dan masa depan. Aku seperti tersebar ke mana-mana.
~ 2015
Di Perpustakaan
Buku-buku adalah kota yang melahirkan jalan pulang kepada
dunia yang fana, dimana setiap kata mereproduksi rindu dan
angan-angan yang berpautan diam-diam di sepanjang keningmu
seperti sentuhan lembut dari sang kekasih yang lama tidak kau
cumbu
Di rak kata-kata, bermacam manusia telah menyimpan dirinya
ke dalam filsafat dan pengetahuan yang mengantar mereka menjadi
nabi yang kekal dalam ketidakmengertian di sudut perpustakaan
yang sumpek. Kemudian mereka mengandaikan tentang asal mula
segala yang berasal dari awal hingga akhir masa, menjadi batas-batas
yang rinci antara ilusi dan kenyataan. Semua berlangsung dari masa lalu
yang buku.
Kami yang membaca adalah kami yang siapa entah dimana, dalam kepala
kami yang semakin luas seperti sabana yang mengelilingi Asia Tenggara,
dan kami benar-benar di situ dan tidak benar-benar di situ. Ketika buku-buku mengingatkan kami pada batas antara waktu dan rindu dari
sebuah jam dinding yang berdentang pada sore hari. Kami terbakar
dalam lembar-lembar masa lalu yang dituliskan kepada masa depan
sejarah yang dihapuskan di negeri ini.
Kami melihat para tentara dan jaksa sedang melakukan revolusi, membangun
sebuah negeri yang malang. Di sebuah buku yang berlubang judulnya,
diam-diam sejarah menghilang, menjelma bayang-bayang dari rak
buku yang berdebu dan sumpek. Lihatlah, jalan pulang itu.
~ 2015
Negara Palsu dan Obat Batuk
Orang-orang menghidupkan televisi dan mereka dilahirkan kembali
sebagai bayang-bayang masa depan yang terbuat dari sisa limbah
dan sampah yang keluar dari cerobong-cerobong pabrik dan minimarket
yang memperbanyak diri
Pabrik-pabrik mengirimkan produksi sebagai hiburan dan mencuri
setiap kenangan yang tersimpan dalam lemari-lemari pakaian di sebuah
masa lalumu. Kemudian menggantinya dengan sebuah tubercolosis
yang mengingatkanmu pada kartu sehat di sebuah puskesmas tanggung
yang dibangun negara untuk memelihara sakit.
Di ibukota yang jauh, mesin-mesin mencetak propaganda perubahan,
panoptikum-panoptikum dibangun, diam-diam bahan bakar dihentikan,
dan orang-orang disekolahkan dari pagi hingga malam yang kehilangan
jati dirinya. Jaman bergerak diam-diam di bawah kendali pikiranmu.
Imajinasi-imajinasi menyaru sebagai plastik. Tanah-tanah menolak
kematian. Di ibukota sebuah rumah sakit tengah dipentaskan dan
para penonton membusuk dalam lubang toilet mereka masing-masing.
Orang-orang membangun tubuh mereka dengan kehilangan yang mereka
ciptakan dari film, telenovela, dan sinetron yang membuat mereka
teringat tentang diri mereka yang telah mati di masa kini.
Semua menjadi tak berarti, seperti sebuah perasaan yang mencekam
ketika membayangkan esok hari matahari berganti dengan cahaya
lampu redup di sebuah kamar rumah sakit jiwa.
~ 2015
***
Dwi Rahariyoso lahir di Ponorogo, Jawa Timur. Alumni S1 jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta dan Alumni S2 Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Sempat menjadi peserta dalam acara Pertemuan Penyair Nusantara VI, di Jambi tahun 2012. Saat ini berdomisili di Jambi.
***
DISKUSI SASTRA PKKH UGM
Acara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda. Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum).