• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • IT Center
  • Perpustakaan
  • Penelitian
  • Webmail
  • Hubungi Kami
Universitas Gadjah Mada Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Tentang Kami
    • Visi dan Misi
  • Berita
  • Kegiatan
    • Arsip
    • Unduhan
  • Fasilitas
  • Galeri
  • Beranda
  • Event
  • page. 4
Arsip:

Event

Zainal Arifin Thoha” (serta puisi lainnya), karya Kuswaidi Syafiie

BeritaEvent Tuesday, 29 March 2016

Rabu, 30 Maret 2016 Pukul 19.30-22.00 WIB Di Ruang Gong Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur Pembahas: S. Arimba (sastrawan) Widya Pranarini (mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM) MC dan Moderator: Isti Kumalasari Acara ini terbuka untuk umum, tanpa dipungut biaya. Ulasan-ulasan atas puisi-puisi Kuswaidi Syafiie bisa diikuti di tautan berikut: https://www.facebook.com/events/247621378919200/ ********** ZAINAL ARIFIN THOHA Kau seorang kiai Kau juga budayawan Ucapanmu terpuji Akhlakmu menawan. Sehabis takziah di Minggiran Tadi aku berhenti depan rumahmu Betapa rupamu amat jelas oh kawan Menuangkan bercawan-cawan rindu. Oh tuak apa ini yg sudah kutenggak Hingga wajahmu jadi alamat Ilahi Oh anggur apa ini yg sudah kugasak Hingga hati menari tak kunjung henti. Dulu di malam-malam yang jelita Kita berbincang tentang rindu dan cinta Lalu batin kita memekarkan bunga Yang harumnya melampaui langit jingga. Sudah lama kau menghadap padaNya Sembari menungguku di sana, di sana. Sewon/ 9/ 03/ 2016. A H O K Kau seorang petarung Di gelanggang kejujuran Moga kau terus beruntung Menumpas para tiran. Pil apa yg telah kau telan Hingga kau tak pernah gentar Memerangi kelaliman Para penguasa berwatak ular? Kau memang belum bersyahadat Tapi tindakanmu keadilan Kutahbis kau ketimbang sahabat Yg moralnya Firaun dan Haman. Negeri ini membutuhkanmu Agar tdk sembrono polecy dan sembilu Hingga nasib rakyat menari bagai ilalang Dengan senyuman dan hati yang lapang. Sewon/ 10/ 03/ 2016. *** Kuswaidi Syafiie adalah pengasuh PP. Maulana Rumi, Sewon, Bantul, Jogjakarta. *** DISKUSI SASTRA PKKH UGM Acara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda. Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum).

Forum Umar Kayam 23 Maret 2016

BeritaEvent Thursday, 24 March 2016

Forum Umar Kayam edisi Maret 2016 mengundang duo SENYAWA (Rully Shabara dan Wukir Suryadi). Perbincangan dengan SENYAWA akan dilaksanakan pada:

Rabu, 23 Maret 2016
Pukul 15.00-17.00 WIB
Di Ruang Gong PKKH UGM, Bulaksumur

Acara terbuka untuk umum & tanpa dipungut biaya.

***
Dalam kesempatan Forum Umar Kayam PKKH UGM edisi Maret 2016 ini, kami mengundang duo Senyawa sebagai tamu. Senyawa adalah Wukir Suryadi (alat musik Bambuwukir dan seruling Serunai) dan Rully Shabara (vokal). Di luar Senyawa, Rully memiliki grup musik sendiri bernama Zoo. Melalui prakarsa Yes No Wave, mereka dipertemukan dalam sebuah panggung pertunjukan, dan terbentuklah Senyawa (2010). read more

DISKUSI SASTRA PKKH UGM

BeritaEvent Thursday, 17 March 2016

“Di Sebuah Lukisan Tentang Masa Depan”, Puisi-puisi Dwi Rahariyoso

Rabu, 16 Maret 2016
Pukul 19.30 WIB-selesai
Di Ruang Gong, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur

Pembahas:
Kuswaidi Syafiie (sastrawan)
Fitriliya Anjarsari (mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)

MC dan Moderator:
Muajiz Muallim

***
Di Sebuah Lukisan tentang Masa Depan

Di sebuah lukisan tentang masa depan,
pulau-pulau dan laut sepanjang cakrawala
menguap ke angkasa dalam seribu bingar masa lalu;
orang-orang yang dilahirkan; pohon-pohon
dan hutan kemudian ditebang diam-diam
sepanjang musim yang terik dipenuhi kegelisahan
sumur-sumur mengering, dan percakapan-percakapan
terdengar kasar di telinga dengan bermacam jenis binatang
yang berlarian mengaburkan pandangan
Sebuah mobil yang terbakar dan legenda-legenda naga yang
dibangkitkan dari sebuah buku bacaan asing yang diimpor
mengisi rak-rak perpustakaan tak ubahnya sebuah merk dagang
yang terus-menerus melakukan pemberontakan di dalam
tubuhku dan tubuhmu
Di sebuah lukisan tentang masa depan, matahari terbit
menyerap segala isi tanah termasuk pikiran-pikiran
tentang identitas yang kosong. Hidup seperti kemarau yang panjang
dan sunyi melepaskanku untuk berulang-ulang masuk dan keluar
dari tubuhku juga tubuhmu yang tidak pernah hidup untuk berbicara
tentang kebenaran, cinta, dan segelas kopi yang dihidangkan kedai-kedai
sepanjang jalan yang sudah kau gusur di masa lalu.
Di sebuah lukisan tentang masa depan, kita menciptakan kematian
dari pabrik dan mesin-mesin gagasan yang mereproduksi kenyataan
dan kita meninggalkan tubuh-tubuh kita di garasi, seperti rongsokan
yang tidak lagi gesit mencerna waktu yang mengeras layaknya batu
~ 2015 read more

Masihkah ada Cinta d(ar)i Kampus Biru

BeritaEvent Tuesday, 16 February 2016

“Masihkah ada Cinta d(ar)i Kampus Biru” Diproduksi oleh Teater Gadjah Mada, bekerjasama dengan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM. Adaptasi atas novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar. Disutradarai oleh Irfanuddien Ghozali Pementasan teater ini akan diselenggarakan pada: Kamis, 11 Februari – Jumat, 12 Februari 2016, jam 19.30 WIB Di Ruang Pameran PKKH UGM Berita gembiranya, tiket pementasan teater ini sudah terjual habis pada hari pertama publikasinya diluncurkan di media sosial. Pementasan memang hanya digelar dua hari, total tiga sesi pementasan, di mana setiap sesinya hanya dibatasi 70 orang penonton saja. Kami haturkan maaf kepada Anda yang kehabisan tiket. Kami selaku penyelenggara akan mencari cara agar dokumentasi video pementasan ini dimungkinkan untuk bisa diakses secara online beberapa saat pasca pementasan. Salam. *** Pengantar Pertunjukan Pertunjukan “Masihkah ada Cinta d(ar)i Kampus Biru?” merupakan tafsir ulang novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar. Novel Cintaku di Kampus Biru sendiri bercerita tentang kisah cinta seorang mahasiswa bernama Anton yang mengambil latar di kampus UGM. Novel tersebut juga pernah diangkat ke dalam medium film oleh sutradara Ami Prijono pada tahun 1976. Pertunjukan ini akan mengambil sebagian kisah cinta Anton di Kampus Biru. Yakni, kisah cinta Anton dengan mahasiswi bernama Marini serta seorang dosen bernama Yusnita. Rumitnya hubungan Anton dengan Marini, membuat mahasiswa Psikologi tersebut jengah. Di sisi lain, vak (nilai ujian) mata kuliah Bu Yusnita tak kunjung keluar, padahal Anton termasuk mahasiswa yang masa kuliahnya sudah terlampau lama. Dekan pun tidak memberikan solusi sama sekali atas permasalahan yang Anton hadapi. Namun siapa sangka, penelitian ke Dieng menjadi awal tumbuhnya cinta antara Anton dan Bu Yusnita. Setelah itu bumbu-bumbu asmara menyelimuti hubungan Anton dengan dosennya tersebut. Tokoh-tokoh di dalam cerita akan diperankan secara bergantian oleh para aktor. Anton yang notabene seorang laki-laki, terkadang akan dimainkan oleh aktor perempuan. Ataupun, sosok Marini yang akan diperankan oleh laki-laki. Masih dalam rangkaian project ini, telah digelar Diskusi “Mengunjingkan Kembali Cintaku di Kampus Biru Sebagai Penanda Zaman”, dengan pembicara: a. Prof. Dr. Faruk H.T. (dosen Sastra Indonesia FIB UGM) b. Syafiatudina (peneliti Kunci Cultural Studies / alumni UGM) Pada Selasa, 09 Februari 2016 lalu, di Ruang Gong, PKKH UGM. Patut diakui, selama mengenyam dunia kampus, kita akan bertemu dengan tiga hal, yaitu buku, cinta, dan pesta. Ketiga kata tersebut disematkan dalam sebuah kalimat yang ditulis oleh Ashadi Siregar di novelnya, yaitu Cintaku di Kampus Biru. Tiga kata yang tentu akan dikenang oleh setiap orang yang pernah merasakan manis dan pahitnya menjadi mahasiswa. Novel Cintaku di Kampus Biru mulai muncul pada tahun 1974. Sebelumnya, pernah terbit sebagai cerita bersambung di harian Kompas sejak tahun 1972. Novel Cintaku di Kampus Biru sudah menyedot perhatian publik sejak pertama kali diterbitkan oleh Gramedia. Pada tahun 1974, tercatat sekitar 9.200 novel Cintaku di Kampus Biru laku di pasaran. Angka tersebut naik di tahun 1975 menjadi 14.120. Puncaknya, pada tahun 1976, novel tersebut terjual mencapai angka 16.730. Di tahun yang sama juga lahir film “Cintaku di Kampus Biru” yang dibintangi Roy Marten dan Yati Octavia. Pada periode tersebut, novel semacam Cintaku di Kampus Biru memang naik popularitasnya. Selain Cintaku di Kampus Biru, beberapa novel lain milik Ashadi Siregar juga laku di pasaran. Semisal, Kugapai Cintamu dan Terminal Terakhir, keduanya juga diterbitkan oleh Gramedia. Novel milik Ashadi Siregar tersebut, bersanding dengan novel Karmila dan Badai Pasti Berlalu karya Marga T. Bagi Ashadi Siregar, novel mempunyai sebuah fungsi bagi lingkungan sosial. Fungsi tersebut bercabang menjadi dua. Pertama, berfungsi untuk menghibur sebagai kebudayaan massa yang paling murni. Kedua, sebagai pembentuk sikap sosial. Kedua fungsi diatas berangkat dari ide pokok prinsip-prinsip komunikasi massa. Novel yang ditulis oleh Ashadi Siregar berangkat dari pengalaman individual serta kebudayaan kolektif masyarakat saat itu. Karena itu, novel seperti Cintaku di Kampus Biru memang ditujukan untuk generasi saat itu. Sebab, problem sosial yang dibicarakan sesuai dengan periode tersebut. Selain itu, setiap generasi mempunyai problem sosial yang berbeda-beda. Ashadi menyatakan, bahwa novelnya tidak berpretensi untuk menjadi karya yang abadi dan akan dikenang sepanjang masa. Hanya saja, novel Ashadi Siregar, terutama Cintaku di Kampus Biru sampai sekarang masih dikenang, bahkan dikenal oleh publik sekarang. Terutama trademark “Kampus Biru” yang masih melekat di tubuh Universitas Gadjah Mada Nilai-nilai zaman yang ada dalam novel Cintaku di Kampus Biru merupakan sebuah pergunjingan. Bagi Ashadi Siregar, novel merupakan sebuah cara untuk mempergunjingkan manusia. Diskusi “Mengunjingkan Kembali Cintaku di Kampus Biru Sebagai Penanda Zaman” ini merupakan sebuah wadah untuk “ngrasani” kembali novel Cintaku di Kampus Biru serta kampus UGM sendiri. Diskusi tersebut bertujuan untuk menggali nilai-nilai zaman yang ada dalam novel Cintaku di Kampus Biru. Serta, mengulik korelasi novel Cintaku di Kampus Biru dengan kehidupan kampus UGM sekarang. Diskusi ini juga berniat untuk memancing beberapa pandangan dari berbagai generasi yang semoga saja berguna bagi kemajuan UGM. Patut dipertanyakan, masihkah ada cinta d(ar)i Kampus Biru? *** TIM PRODUKSI – Manajer Produksi: Muh. Rasyid Ridlo | Asisten Manajer Produksi: Citra Kurnia Sholihat | Media Relations: Taufiq Nur Rachman | Koordinator Desain & Publikasi: Elfi Husniawati | Tim Desain & Publikasi: Henricus Pria, Kaliful Kurniawan | Dokumentasi: Bondan Wicaksono, M Rizki Fadilla, Mahdi Muhammad | Hospitality: Shoim Mardhiyah | Front Desk dan Usher: Anarentika FS, Hamima Nur Hanifa, Karisa Saraswati, Muhammad Fawwaz F, Muhammad Rizal Ramadhan, Muhammad Lukman Hakim, Nabila Noorhafizah, Rama TIM ARTISTIK – Sutradara: Irfanuddien Ghozali | Aktor: Anggita Swestiana, Akmal Jauhari, Aprillia Saraswati, Erlin Kencanawati, Jannatiyana Suwinda, Muhammad Eva Nuril, Wedita Destriani, Wisnu Yudha Wardhana | Stage Manager: Gading Narendra Paksi | Stage Crew: Miqdad Muhammad, Pascal Caboet | Penata Set dan Properti: Suluh Senja |Penata Kostum : Irmaningsih Pudyastuti | Tim Penata Kostum: Dea Amelia K, Eko Setyowati | Penata Make up: Anggita Swestiana | Penata Cahaya: Samuel Payo | Tim Penata Cahaya: Hiskia Andika W, Muhammad Haikal M, Rafiq Aly Nurdin, Rahmat Sukendra S | Penata Musik: Gardika Gigih, Irfan Drajat | Tim Penata Musik: Simplicity Fraternity Confidenty | Penata Video: Muhammad Dzulqornain TIM PENULIS DAN ILUSTRATOR – Fasilitator dan Editor: Wisnu Yudha Wardhana | Penulis: Anta Kusuma, Bagus Panuntun, Daud Sihombing, Dwi Utami, Irfan R. Drajat, Melalusa Ucha, Muhammad Faisal, Muh. Rasyid Ridlo, Satrio Dwicahyo, Sitti Rahmania, Titah Asmaning, Vita Soemarno | Ilustrator: Iqbal Rahadyan, Lefiadhi Premana, Muhammad Nabil, Nabila Auliani Ruray, Nabiilah Yumna Fauziyyah, Nurlahari Al Reski, Safiera Dhea Azmani *** Ucapan Terima kasih Person: Drs. Ashadi Siregar, Prof. Dr. Faruk HT, Aisyah Hilal, Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc, Agung Kurniawan, Tri Sugiharto, Herlambang Yudho, Puthut Ea, Syaifiatudina, Muhammad AB, Ika Ayu | Instansi: Universitas Gadjah Mada, Gelanggang UGM, KRST Psikologi UGM, UFO UGM, Mapagama UGM Media Partner : @pamityang2an, Jogja Student, Kanal Tiga Puluh, Berita Jogja, Warning Magz Credit Songs : 1. “Cintaku di Kampus Biru” (Adjie Bandy, 1976) diaransemen ulang oleh Irfan Drajat (2016) 2. “We Shall Over Come” diaransemen ulang oleh Irfan Drajat (2015) 3. “Love Grass” (Gardika Gigih, 2016) 4. “Gaudeamus Igitur” courtesy via Youtube 5. “Blue Velvet” (Bernie Wayne dan Lee Morris, 1950) diaransemen ulang oleh Gardika Gigih (2016) 6. “Que Sera, Sera” (Jay Livingston dan Ray Evans, 1956) diaransemen ulang oleh Gardika Gigih (2016) 7. “Anton Rorimpandey” (Irfan Drajat, 2016) Credit Video : Potongan scene dari film Cintaku di Kampus Biru (Ami Prijono, Safari Sinar Sakti Film, 1976), courtesy via Youtube Ilustrasi : 1. “Timpang Sebelah” | Alia Ruray, 2016 2. “Romansa Hitam di atas Putih” | Alia Ruray, 2016 3. “Kecup” | Alia Ruray, 2016 4. “Liberasi Wanita” | Alia Ruray, 2016 5. “Anton” | Nabiilah Yumna Fauzziyah, 2016 6. “Kartu Pos Rindu” | Iqbal Rahadyan, 2016 7. “Merakit Mimpi” | Safiera Dhea Azmani, 2016 8. “Bersih” | Muhammad Nabil, 2016

Pertunjukan musik Retetet Ndona-ndona

BeritaEvent Monday, 25 January 2016

Jogja Artweeks 2016 dan PKKH UGM mempersembahkan:

Percakapan dengan Kebisingan 2.0: Orkestra Retetet Ndona-Ndona

Sebuah Pertunjukan Partisipatoris karya Jay Afrisando

Pada:

Rabu, 27 Januari 2016

Mulai pukul 19.30 WIB (pintu dibuka: 19.00 WIB)

di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM

Penonton dapat bergabung di acara ini dengan memberikan kontribusi sebesar Rp 20.000,-

***

Kebisingan telah menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipungkiri dan tiada mampu dihindari. Perlu disadari dan diakui pula, bahwa kebisingan-kebisingan yang tidak diinginkan menjadi salah satu pemicu stres yang berakibat pada menurunnya kualitas hidup manusia yang terpapar kebisingan tersebut. read more

Pekan Musik Laras

BeritaEvent Friday, 8 January 2016

Pekan Musik LARAS

LARAS Studies of Music in Society dan PKKH UGM menyelenggarakan Ansambel Musim Hujan: Konser Penggalangan Dana LARAS. Konser ini merupakan bagian dari rangkaian PEKAN MUSIK LARAS, 8-15 Januari 2016.

Keseluruhan angkaian kegiatan terdiri dari:
Off-Stage Sessions
((rangkaian artist talk dengan musik dan pemutaran film))
((gratis))

– Off-Stage Session #1
Jumat, 8 Januari 2016 | 16:00 WIB | FISIPOL UGM
Bincang-bincang tentang proses kreatif sebagai perupa dan musisi bersama Farid Stevy Asta

– Off-Stage Session #2
Minggu, 10 Januari 2016 | 19:00 WIB | Djendelo Koffie
Bincang-bincang tentang proses songwriting bersama Gilbert Pohan dan Sarita Fraya read more

ANTAWACANA

BeritaEvent Monday, 7 December 2015

Panitia Jogja Street Sculpture Project (JSSP) 2015 bekerjasama dengan PKKH UGM menyelenggarakan diskusi, yang diniatkan sebagai wahana bagi masyarakat Yogyakarta menyampaikan respon kritis terhadap perhelatan “ANTAWACANA” JSSP 2015.

Diskusi akan diselenggarakan pada:
Senin, 7 Desember 2015
Pukul 15.00 WIB-selesai
Di Ruang Gong PKKH UGM, Bulaksumur

Diskusi akan diawali dengan paparan dari Anusapati (Ketua Asosiasi Patung Indonesia/API) dan Tim Panitia JSSP 2015.

Sebagai rangkaian dari diskusi ini, Anda dipersilakan untuk mengikuti salah satu dari dua hari guided-tour yang merupakan kegiatan reguler selama JSSP 2015 berlangsung. Pilihan hari guided tour adalah:
– Sabtu, 5 Desember 2015, pukul 16.00 WIB
– Minggu, 6 Desember 2015, pukul 16.00 WIB
Start: Plaza Tugu Golong-giling, sampai Kleringan. read more

Diskusi Sastra PKKH UGM edisi Desember akan menghadirkan cerpen “Cara Mudah Untuk Bahagia”, karya Edi AH Iyubenu

Event Monday, 7 December 2015

Diskusi akan diselenggarakan pada: Senin, 7 Desember 2015 Pukul 19.30 WIB-selesai Di Ruang Gong Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur Akan hadir sebagai pembahas: Dwi Rahariyoso (Sastrawan) Iftitah (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM) Diskusi akan dimoderatori oleh: Jalu Norva Ila P Acara ini terbuka untuk umum dan gratis. Mari mengobrolkan cerpen yang bisa Anda baca sebelumnya di bawah ini, sambil minum kopi dan teh panas di PKKH UGM. Sampai jumpa! Salam. ***** CARA MUDAH UNTUK BAHAGIA Cerpen Edi AH Iyubenu Di kota kami yang selalu terlihat suram ini, setidaknya di mata kami yang lebih suka berkeliaran di malam hari daripada siang hari, hanya ada dua cara untuk bisa merasa hidup bahagia: berbuat baik pada orang lain atau berbuat baik pada diri sendiri. Dan, tentu saja, aku memilih cara kedua. Inilah cara termudah dan termurah untuk bisa merasa hidup bahagia, Erdem! Cukup berpikir! Ya, berpikir bahagia, maka aku akan bisa merasa bahagia. Erdem Bora, si lelaki pemurung yang jarang berbincang dengan lawan jenis kecuali Aysila Dilara yang berdagu lancip itu, mereguk kembali coffee latte-nya sambil mengerutkan kening di hadapan kata-kataku. Pesanannya selalu sama dengan pesanan Aysila. Juga untuk malam ini. Matanya adalah elang, kendati aku sendiri lebih suka menyebutnya mata burung camar yang mudah dijumpai di tepian selat Bosphorus ini, semata karena aku ingin berpikir bahwa mataku jauh lebih bagus dari matanya. Ah, ternyata pikiran benar-benar sanggup mengubah kenyataan, bukan? Boozcada Café: sebuah coffee shop dengan space sempit ini, milik seorang pemuda berusia 35-an asal kota Bursa, hanya menyediakan beberapa meja kecil yang dikitari kursi-kursi kecil. Jika sudah lewat pukul 11 malam, diiringi hempasan angin laut yang kencang dari selat Bosphorus, hanya akan terlihat beberapa orang yang setia menikmati kopi di bangunan berlantai dua ini. Ya, termasuk kami bertiga ini: aku, Erdem, dan Aysila. Dan, biasanya, ada dua pasang kekasih pula yang mengisi kursi-kursi di sekitaran kami; satu pasang duduk di dekat meja bartender dan satu pasang lainnya duduk di dekat jendela kaca yang sengaja dikuak setengah. Dari kaca lebar bening yang menjadi dinding pembatas antara kafe ini dengan selat itu, kami bisa begitu leluasa menyaksikan kerlip-kerlip lampu dari daratan Eropa. Juga geliat lampu-lampu mobil dan bus pariwisata yang tengah melintas di atas jembatan Bosphorus yang tak seberapa panjang itu, yang menyatukan tanah Eropa dan Asia. Jika kau melintasi jembatan itu dari arah Istanbul ini, tepat pada aspal yang agak menurun di tengah jembatan itu, tolehkan kepalamu ke kanan, maka kau akan menemukan plang dengan tulisan “Welcome to Europe”. Sebaliknya, jika kau berangkat dari arah sana, di bagian kirimu akan terlihat sebuah plang bertuliskan “Welcome to Asia”. Di arah tenggara dari kafe ini, kami bisa pula menatap lepas wajah Sulaiman Mosque yang menjulang dengan anggunnya. Dan, tentu saja, di bawah sana, di tepian dermaga yang menyimpan jejak-jejak tentara terbaik Al-Fatih saat menaklukkan Konstantinopel, di antara perahu dan kapal yang sandar untuk sejenak istirahat itu, kami bisa dengan mudah menemukan para sejoli yang tengah menikmati angin laut sambil berpelukan dengan hangatnya. “Kau terlalu Cartesian, Pamuk,” suara Erdem yang khas memaksaku menoleh ke arahnya. “Kau pewaris logosentrisme Asristotelian. Apa-apa disandarkan pada kaidah logika rasional tunggal, sehingga cara pandangmu tentang hidup ini hanya bermata tunggal pula….” “Kan tidak salah untuk memutuskan pilihan, Erdem?” sahutku sekenanya sambil mencomot french fries yang kian beku diguyur angin malam. “Tidak salah, tapi kau seharusnya mengerti pula bahwa hidup yang selalu memuja rasio hanya akan membuatmu kehilangan makna sakralitas.” “Wow!” seruku, kaget. Oh my God! Sumpah, baru kali ini aku mendapati sosok Erdem yang mengaku ganjil dengan segala ritual ini bicara tentang sakralitas. “Sejak kapan kau termakan bujuk rayu sakralitas, Erdem?” Aysila terkekeh sampai bahunya yang terlindungi jaket tebal terguncang-guncang. Kalung monel dengan bandul Menara Eiffel yang selalu dikenakannya, yang kuhadiahkan padanya tahun lalu tanpa sepengetahuan Erdem, ikut bergoyang mengikuti guncangan bahunya. Saat terbahak begitu, Aysila sungguh terlihat lebih memikat. Lebih seksi! Makanya dulu, sambil memasangkan kalung itu ke lehernya di sebuah bangku taman di seberang Hagia Sophia yang menggigil dicumbui musim dingin yang tak bersalju, aku berbisik di dekat lehernya, “Sering-seringlah terbahak, Aysila, sebab itu membuatmu tampak lebih seksi….” Aysila menarik lehernya dengan cepat dari dekat bibirku dan mengeluh geli oleh hempasan napasku yang berkabut. “Di mana-mana, lelaki selalu ingin melihat wanita tidak terbahak, Pamuk. Katanya, terbahak bukanlah simbol keanggunan. Terbahak hanya milik kaum bitchy!” Ia terbahak. Lihatlah! Ia memang terlihat sangat sensual dengan bahakannya, bukan? “Ah, itu mitos!” sahutku, nyengir. “Mitos yang diamini para lelaki, kan?” “Tidak termasuk aku. Tidak termasuk manusia rasional Cartesian macam aku kok, Cantik….” Aysila kian ngekeh. Ah, ia makin membuatku mabuk kepayang, meski tentu saja aku takkan pernah berani menganggapnya sebagai kekasihku. Erdem mendengus, menjejalkan ujung rokoknya ke mulut asbak sampai mati. Sepertinya, ia tak begitu suka melihat kami tertawa gara-gara kata “sakralitas” tadi. “Orang Cartesian hanya akan hidup dengan kaca mata kuda. Seperti kau ini, Pamuk….” sergahnya kemudian. Ah, Erdem, si kawan filsuf kami ini! Ia benar-benar kelihatan tersinggung dengan bahakan kami, rupanya. “Kalem, Kawan, nikmati coffee latte-mu lagi,” kata Aysila sambil menyorongkan cangkir kopi Erdem ke dekatnya. “Aku tidak marah kalian tertawa begitu, tapi aku hanya perlu menunjukkan pada Pamuk, bahwa otaknya adalah otak Cartesian. Cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada! Betapa konyolnya prasangka itu jika selalu dijadikan pegangan tunggal dalam mengarungi kehidupan ini, Pamuk.” Ia berdiri, melemparkan matanya ke arah jendela. “Lihatlah laut di selat Bosphorus itu….” Kuikuti arah telunjuk Erdem. Mengalihkan mata ke kaca bening yang membanjar di seberang kursi kami. Sebuah selat yang tak begitu luas, yang permukaan airnya nyaris sejajar dengan tinggi talud yang berderet di tepian selat sepanjang kota ini, tampak temaram memantulkan siluet ombak dan tubuh beberapa kekasih yang saling memeluk di beberapa tepiannya. “Ada apa dengan Bosphorus? Dari dulu, sekarang, dan juga nanti tetap akan begitu adanya,” gumam Aysila. Erdem tersenyum kecil, terkesan bernada agak melecehkan memang. “Kau tahu apa warna air laut Bosphorus di malam hari?” “Biru!” sergah Aysila. “Selalu biru,” sambungku. “Bahkan, Laut Merah dan Laut Hitam pun airnya berwarna biru, Erdem. Aku telah membuktikannya saat bertandang ke Jeddah dua tahun lalu.” “Itulah kalian si Cartesin, si Logosentris! Aku bisa bilang warna air di selat Bosphorus itu hitam, bukan? Lihatlah! Hitam, bukan?” Erdem mengekeh. Biasalah, jika obrolan kami sudah mulai serius begini, hentakan kecil akan sedikit meletup dari mulut Erdem. Aku pernah berbisik pada Aysila di suatu hari bahwa gaya meletup Erdem mungkin saja menjadi pipa pelariannya untuk memuntahkan segala roman kemurungannya. Dan Aysila hanya terbahak saat itu. Tentu, ia tampak begitu cantik saat membahak. “Differance, Kawan, buatlah penangguhan diri dari hukum-hukum sumir rasionalitas! Berhentilah terus-menerus membiarkan diri kalian berada dalam posisi berpikir yang benar adalah begini dan begitu saja. Hidup ini harus ditolong oleh keluasan imajinasi, agar menjadi lebih kreatif dan berwarna!” “Derrida!” seru Aysila sambil membahak. “Barthes? Sartre? Kierkegaard? Kant? Ataukah Foucault yang ingin kau ceritakan pada kami malam ini, Erdem?” timpalku dengan mulut menyeringai. Erdem tersenyum kali ini; sebentang garis datar saja di antara dua bibirnya. Selalu begitu. Tak pernah lebih. Dasar si pemurung! “Sampai kapan pun, aku akan tetap Cartesian!” tegasku. “Aku juga!” timpal Aysila. Erdem menyeret senyumannya perlahan. Lalu menyimpannya rapat-rapat. Matanya menelan wajah kami, satu-persatu. “Dan sampai mati pun, kalian akan terus hidup dalam satu warna begitu. Ya, sampai mati! Menyedihkan….” “Kami menyedihkan, Erdem, tapi kami bisa terbahak lepas. Sebab kami bisa merasa bahagia berkat pikiran kami. Kau tidak menyedihkan, Erdem, tapi kau selalu murung. Sebab kau menganggap kemurungan dan kebahagiaan adalah soal imajinasi belaka.” Aysila terbahak mendengar kata-kataku. Begitu keras. Sampai-sampai, sepasang kekasih yang masih bertahan di meja dekat jendela yang setengah terkuak itu, yang kedua tangannya saling bergenggaman sedari tadi, menoleh ke meja kami. Aku tersenyum pada mereka, dan mereka pun tersenyum pada kami: para kelelawar kota yang membalik siang menjadi malam dan malam menjadi siang. “Ingat, Erdem, kata-katamu tentang Sartre kemarin malam, bahwa imajinasi yang kau puja itu tetaplah hanya sebuah bayangan tentang sebuah kenyataan dari ketiadaan. Bayangan, Erdem! Bagaimana pun, bayangan akan tetaplah maya….” “Tidak akan selalu maya jika aku yang berimajinasi berhasil mewujudkannya menjadi kenyataan, bukan?” sergah Erdem. “Kalian bacalah sejarah Newton yang menciptakan teori gravitasi hanya sebab melihat apel jatuh! Ia berimajinasi dengan sangat luas, bukan? Lalu ia berhasil mengubah sejarah dunia!” Erdem kembali meneguk coffee latte-nya. Berdehem-dehem kecil beberapa kali, mungkin untuk mempertontonkan kecongkakannya pada kami, lalu berkata, “Albert Einstein juga berhasil menciptakan rumus E=mc2 berkat imajinasinya. Thomas Alfa Edisson yang disebut bodoh oleh guru-gurunya yang Cartesian berhasil mengubah wajah dunia berkat imajinasinya pula! Marx Zuckerberg menciptakan Facebook juga dengan imajinasinya. Semua bersumber pada imajinasi, kalian tahu itu, kan?” “Lantas, kau sendiri berimajinasi apa, Erdem?” Mataku dan mata Aysila saling bertumbuk saat melontarkan kalimat yang nyaris serentak itu. Erdem kehilangan kata-katanya. Beberapa jenak saja, tentunya. Sebagai orang pintar yang berbaur arogan, manalah mungkin ia akan memperlihatkan geragapnya. “Sebuah hiper-realitas, dan itu adalah bagian dari proses imajinasi yang akan mengubah wajah dunia, setidaknya wajah hidupku,” ucapnya kemudian. Nadanya agak lirih. Bahkan, nyaris tak terdengar diringkus oleh suara kursi yang berderit diseret sang waitress yang murah senyum itu. “Baudrillard!” sergah Aysila. Aku terkekeh. “Benar, bukan?” timpal Erdem. “Erdem, mending kau alihkan energi imajinasimu yang sanggup menciptakan hiper-realitas itu untuk berpikir kapan kau akan memiliki kekasih, seperti pemuda di sebelah itu,” bisik Aysila dengan kepala sedikit ditekuk mendekati wajah Erdem. “Ada tangan yang bisa kau pegang, ada wajah yang bisa kau pandang, ada canda yang bisa menghapus muka murungmu, pasti hidupmu akan bahagia.” “Setuju! Kau boleh saja memuja Foucault kok, tapi tidak perlulah kau turut meniru wajah murungnya saat berimajinasi tentang arkeologi pengetahuan sampai tak ada waktu untuk mencintai wanita,” timpalku sambil terbahak. Ngikik. “Lalu kau ujungnya akan mencintai Pamuk, Erdem….?” Aysila kembali memperdengarkan bahakannya yang tak lamat. Dengusan Erdem merobek bahakan kami. “Sudahlah, sekarang silakan terbahak puas begitu, mentertawakan aku. Kelak, kalian akan membenarkan kata-kataku, bahwa dunia ini akan kian berantakan sebab adanya orang-orang macam kalian yang hanya melihat bahagia dengan cara usang cogito ergo sum!” Erdem kembali memamerkan muka murungnya yang ditingkahi ucapan bernada sinis itu. “Asal kalian tahu, orang Cartesian takkan pernah sanggup membahagiakan orang lain. Tahu kenapa? Sebab Cartesian hanya berpikir tentang dirinya, dirinya, dan dirinya! Tentang aku, aku, dan aku belaka. Orang lain? Masa bodohlah! Dan hukum semesta telah mengatakan bahwa hanya orang yang bisa membuat orang lain tertawalah yang akan bisa tertawa pula dalam hidupnya. Titik!” Aku terhenyak, kali ini. Deg! Ia menembak jitu prinsipku bahwa dengan berpikir bahagia maka aku akan bahagia. Sialan! Kulihat Erdem bangkit dan melangkah gontai ke toilet yang nyempil di lorong kecil yang bersisian dengan posisi duduk sang waitress di dekat galon air itu. Tampak ia berbicara sekilas pada sang waitress itu, lalu menyelinap ke dalam toilet. “Hei….” desisku pada Aysila. “Ya?” sahutnya pelan. “Jadi?” Aysila menjawab dengan senyumannya saja. “Hei, terbahaklah, aku suka lihat kau terbahak.” “Kau gila!” Aku terkekeh, tetapi buru-buru kutelan kembali kekehan itu saat Erdem muncul dan mendekat ke arah meja kami. Ia kembali duduk di kursinya, meneguk minumannya, lalu melemparkan mata elangnya ke arah kaca lebar yang menjadi dinding kafe ini. Malam kian beranjak tua dihajar dentang waktu. Sekitar lima belas menit lagi, Boozcada Café ini akan tutup. Angin laut yang melindap melalui jendela yang setengah terkuak di lantai dua ini terasa lebih dingin dari biasanya. Di ujung langit Eropa sana, bulan yang suram terkulai begitu kelelahan. Kulihat Aysila mulai sering menguap. Matanya agak merah. Kupanggil waitress yang tampak mulai diserang kantuk itu, yang terduduk terantuk-antuk di dekat galon air, di sebelah meja bartender. Tak lama, ia datang sambil menyodorkan sehelai kertas billing. Cukup 30 Lira untuk malam panjang yang dijejali suara Derrida hingga Sartre! Kali ini giliranku yang membayar billing. Lalu kami menuruni tangga besi sempit yang melingkar-lingkar bak ular ini. Tak lupa, sebelumnya, kulambaikan tangan kepada sepasang kekasih yang masih menghabiskan tegukan terakhirnya di meja dekat jendela yang terkuak setengah itu. Kami berjalan dengan langkah pendek-pendek menyusuri pedestrian yang kian senyap ini. Angin laut begitu setia berkejaran. Beberapa kapal dan perahu yang ditinggalkan pemiliknya yang pastilah tengah mendengkur tampak terayun-ayun dijilati ombak-ombak Bosphorus. Seorang penjual roti bulat-bulat mirip donat tanpa misis terduduk di kursi plastiknya dengan kepala kulai dan mata pejam. Dengkurannya berkelindan ke telinga kami. Di langit Eropa, di seberang selat yang pernah ratusan tahun dikuasai orang Romawi ini, bulan yang muram kian terlihat kusam dengan warna kekuningannya yang kian pikun. Nyaris pukul tiga dini hari, kami sampai di gerbang apartemen Aysila. Sambil melingkarkan lengan kanannya ke pundakku, Aysila menatap Erdem. “ Erdem, pagi ini kupinjam Pamuk ya untuk membantuku membenahi kabel-kabel yang bermasalah di kamarku.” Tak ada suara dari bibir Erdem. Matanya beralih ke wajahku. Tentu, dengan tatapan elangnya. “Ayo, Pamuk, masuk…” kata Aysila sambil menarik pundakku. Kupegang lengan Aysila, kutatap wajah Erdem, lalu berkata, “Sorry, Aysila, pagi ini aku sudah janjian akan tidur di apartemen Erdem. Soal kabel-kabelmu, nanti kubereskan ya.” Mata Aysila sontak melompat. Tajam. Ribuan anak panah melesat dari baliknya dan menghunjami wajahku. “Masuklah, Aysila, sudah sepi begini,” kataku sambil melepas lengannya, dan beralih menggandeng lengan Erdem. Tanpa menoleh lagi, kuayunkan kaki beriringan dengan gontai kaki Erdem. Lantas kami menghilang di sebuah tikungan, mengarah ke kiri, lalu membelah beberapa rumah yang terkapar diterkam lelap, lalu masuk ke sebuah gang kecil di distrik Besiktas yang di ujungnya ada sebuah apartemen dengan dominasi cat merah menyala. Erdem berdiri di depan apartemennya, menyantap sekujur tubuhku dengan mata elangnya yang kelihatan lebih mengkilat. “Pamuk, kau serius mau menginap di sini bersamaku?” Aku terbahak. Mengekeh. “Erdem, Erdem, kau pikir aku akan benar-benar membantumu menjadi Foucault?” Erdem tersenyum. Ya, senyum kecil saja, sebagaimana biasa, diiringi mata elangnya yang meredup. “Baiklah, Erdem, aku pulang…” kataku sambil membalikkan badan, mengayun gontai membelah beberapa gang yang kusam, berbelok beberapa kali. Lalu, dengan ayunan terbaik yang bisa kulakukan, kuarahkan badanku ke apartemen Aysila. Semoga Aysila belum tidur, gumamku sambil memencet nomer telponnya. Yes! Terdengar suaranya di gagang telponku. “Buka pintu, Aysila….” “Kau serius, Pamuk?! Bukankah tadi kau begitu kejam mempermalukanku dan memilih tidur bersama Erdem?!” “Oh, no! Sejak kapan aku menjadi si homoseks, hah?” “Haaaaaa…” Asysila memperdengarkan kekehannya yang membuatku semakin tak sabar menunggu pintu apartemennya terkuak. “Kau memang cerdik, Pamuk! Tepatnya licik! Melebihi siapa pun. Bahkan, kawan filsuf kita si Erdem itu pun berhasil kau kecoh….” “Cogito ergo sum!” kekehku sambil mematikan telpon. Sesungguhnya, dalam hati, aku ingin mengatakan bahwa sejuta taktik pun akan kupikirkan demi membuatku bahagia, Aysila…. Jogja, 8 Oktober 2014 Catatan: Cerpen ini pernah dimuat di Horison, Januari 2015. *) Edi AH Iyubenu, adalah cerpenis dan essais yang sangat produktif di tahun 2000. Dimasukkan ke dalam Angkatan Sastra 2000 oleh Korrie Layun Rampan. Kini, mengasuh wadah menulis Kampus Fiksi, Penerbit DIVA Press Group, dan situs basabasi.co. Karya-karyanya pernah dimuat di Horison, Kompas, Media Indonesia, Jawa Pos, Suara Merdeka, dll. Buku kumcernya, Ojung (2000), Penjaja Cerita Cinta (2014), dan Hujan Pertama untuk Aysila (2015). @edi_akhiles. **) DISKUSI SASTRA PKKH UGM Acara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda. Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum).

Forum Umar Kayam bersama Yudi Ahmad Tajudin

BeritaEvent Thursday, 12 November 2015

“Lahir, Tumbuh, Kembang Teater Garasi”

27 November 2015, pukul 15.00-17.00 WIB, di Ruang Gong PKKH UGM

Teater Garasi adalah salah satu potret teater yang hingga kini memiliki napas dan sedang terus mencatat pengalaman panjang. Lahir dari lingkungan kampus di tahun 1993, dengan berpijak pada keyakinan dan praktik langsung bahwa seni pertunjukan adalah sekaligus proses dan laku produksi pengetahuan, untuk terlibat secara dialektis dalam lingkungan sosial dan politik.

Visi dan basis praktik ini mengantarkan karya-karya dan awak Teater Garasi ke dalam kancah seni pertunjukan global sejak tahun 2000-an. Untuk menyebut beberapa di antaranya: Singapura, Berlin, Tokyo, Shizuoka, Osaka, New York, dan Amsterdam. read more

PENTAS SENI DAN BUDAYA PKKH UGM “MELINTAS: Menyudutkan yang Tak Bersudut”

Event Tuesday, 10 November 2015

Acara ini terbuka untuk umum dan gratis!

Menyusun arsip karya tari sebagai peristiwa ketubuhan memang dilematis. Oleh karena sifat-sifat kelekatan dengan konteks ruang dan waktu penciptaan dan presentasinya, itu tidak cukup hanya diwakili oleh dokumentasi foto-foto dan bahkan video.

12345
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri
Kampus Universitas Gadjah Mada
Jl. Pancasila No. 1, Bulaksumur, Sleman
D.I. Yogyakarta 55281, Indonesia
Email : pkkh@ugm.ac.id
Telp : +62 (274) 557317, +62 (274) 557317

© 2017 PKKH Universitas Gadjah Mada

AksesKontak

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju