Diskusi Preliminary Notes merupakan ruang bagi isu-isu aktual untuk mendapatkan pantulan serta beragam sudut pandangnya. Preliminary Notes menghadirkan pembicara dari kalangan praktisi musik dan akademisi. Bekerjasama dengan Pusat Kebudayan Koesnadi Hardjosoemantri, Laras telah menghadirkan pembicaraan di bawah. Notulensi dapat diunduh di laman-laman berikut.
Berita
Dalam kesempatan istimewa ini, kita akan diajak merunut beberapa penggal kisah geliat aktivitas sastra di wilayah tetangga Yogyakarta: Solo.
Akan ada dua pembicara yang akan membahas topik ini dari dua sudut pandang berbeda, untuk memperbincangkannya bersama Anda sekalian.
Kegiatan akan dilaksanakan pada:
Senin, 5 September 2016
Pukul 19.30-22.00 WIB
Di Hall PKKH UGM
Pembicara:
Toto Sugiharto (Sastrawan)
Dhini Yustia (Mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)
MC dan Moderator:
Disma Ajeng Nastiti
Acara ini terbuka untuk umum, dan tanpa dipungut biaya. Akan ada minuman hangat dan sajian sederhana sebagai teman berdiskusi serta bertukar pikiran.
Kehadiran Anda sangat kami harapkan. Salam.
Hari, tanggal: Rabu, 31 Agustus 2016
Waktu: Pukul 15.30-18.00 WIB
Tempat: Ruang Kenong, PKKH UGM, Bulaksumur
Pembicara:
– Leilani Hermiasih
(musisi dan peneliti; sedang menjalani studinya di bidang antropologi rasa dalam program doktoralnya di Berlin-Jerman, serta bermusik dengan nama panggung Frau)
– Teraya Paramehta
(dosen, penulis, dan musisi; mengajar di Program Studi S1 Inggris dan S2 Program Kajian Amerika di Universitas Indonesia, serta menyanyi di grup rock independen, Wonderbra)
Moderator: Irfan R. Darajat
Acara ini terbuka untuk umum, tanpa pendaftaran sebelumnya, dan tanpa dipungut biaya.
Sampai jumpa di PKKH UGM.
Salam.
***
Abstrak
Sebagai sebuah produk budaya, musik kerapkali dikaitkan dengan “rasa”. Meskipun telah dilekati oleh berbagai elemen dan tumbuh berkembang bersama teknologi pendukungnya, elemen rasa sepertinya tidak bisa dihilangkan dari musik.Lalu bagaimana dengan praktik musikal yang bersumber dari sistem Algoritma? Dengan menggunakan rumus-rumus yang terlihat kaku dan robotik, masihkah “rasa” dapat ditemui dalam praktiknya? Laras – Studies, dalam hal ini akan melakukan pembacaan tentang rasa sebagai kajian atas pelaku / musisi yang memainkan musik algoritma.Bagaimana kontekstualisasi rasa dalam praktik musik? Baik sistem algoritma yang disusun manusia, maupun yang disusun menggunakan komputer. Adakah perbedaan rasa dalam praktik memainkannya?
Selain itu, konteks politik pada era Orde Lama yang melakukan pelarangan terhadap musik barat (ngak ngik ngok) membuat keterbatasan individu dalam menerima arus kebudayaan global saat itu. Tetapi, hal itu juga kemudian menghadirkan siasat bagi penikmat musik yang ingin mangakses musik barat. Strategi macam apa yang dilakukan oleh individu dalam menyiasati kebijakan rezim? Adakah kelas sosial tertentu yang dapat mengakses kemudahan tersebut? Pertanyaan ini akan dijawab dengan melalui oral history dengan beberapa penikmat musik yang hidup pada era tersebut. Presentasi penelitian LARAS – Studies of Music in Society kali ini mencoba memfasilitasi bacaan atas kedua fenomena musikal tersebut. Untuk mencoba menyingkap aspek yang beragam dalam kelindan musik dalam masyarakat melalui sebuah diskusi publik.
Acara ini terselenggara atas kerjasama Laras – Studies of Music in Society dan PKKH UGM.
***
Tentang Seminar Kajian Musik LARAS PKKH
adalah program diskusi dalam format seminar kecil yang diselenggarakan oleh PKKH UGM bersama dengan LARAS Studies of Music in Society. Program ini mencoba memperbicangkan, menelaah, mengkaji, dan menyebarluaskan gagasan tentang fenomena serta praktik musik di masyarakat sebagai gejala sosial dan pada saat bersamaan sebagai produk kebudayaan yang liat dan dinamis.
Forum Umar Kayam PKKH UGM kembali hadir. Edisi Agustus 2016 akan menghadirkan Dr. Emmanuel Subangun.
Forum Umar Kayam PKKH UGM kembali hadir. Edisi Agustus 2016 akan menghadirkan Dr. Emmanuel Subangun.
Kegiatan dilaksanakan pada:
Selasa, 30 Agustus 2016
Pukul 15.00-17.00 WIB
Di Ruang Gong PKKH UGM.
Acara ini terbuka untuk umum dan tanpa dipungut biaya.
Salah satu perkembangan sosial setelah Reformasi dan dalam transisi menuju demokrasi adalah terbukanya ruang-ruang untuk mengekspresikan keragaman. Di satu sisi, keragaman dapat menawarkan perspektif kritis dalam memahami diri sendiri dan orang lain dalam dialektika relasi sosial. Di sisi lain, tanpa pengelolaan yang sehat, keragaman juga mengandung potensi konflik dan represi terhadap kaum yang termajinalkan.
Forum Umar Kayam PKKH UGM mengundang Dr. Emmanuel Subangun untuk membagi perspekstifnya atas gagasan dan praktik pluralisme di Indonesia saat ini.
Sebagai seorang ahli post-modernisme, ia sudah menerbitkan beberapa judul buku, misalnya Syuga Derrida, Politik Anti Kekerasan Paska Pemilu ’99, Negara Anarkhi, Kapitalisme Gotong Royong, dan Dekolonisasi Gereja di Indonesia-Suatu Proses Setengah Hati.
Obrolan bersama Dr. Emmanuel Subangun akan dipandu oleh Ari Wulu (pegiat festival).
menghadirkan narasumber tamu seorang ilmuwan: Muhammad Al-Fayyadl, alumnus program Filsafat dan Kritik Kebudayaan di Université de Paris VIII (Vincennes-Saint-Denis), Prancis.
Kegiatan akan dilaksanakan pada:
Kamis, 26 Mei 2016
Pukul 15.00-17.00 WIB
Di Ruang Pameran PKKH UGM, Bulaksumur
Obrolan bersama Muhammad Al-Fayyadl akan dipandu oleh M. Subkhi Ridho (aktivis di Lembaga Studi Islam dan Politik/LSIP).
Acara ini terbuka untuk umum, tanpa dipungut biaya.
***
ABSTRAK
“Anti-komunis”, “anti-LGBT”, “Pancasilais”, “anti-NKRI”… —belum pernah belakangan kita mengalami tekanan kemunculan “politik identitas” yang sedemikian kerasnya. Ada apa dengan sekitar kita? Ada apa dengan ‘kita’?
Identitas-identitas tampak muncul dan mengeras (kembali). Setelah sekian lama Reformasi menciptakan iklim di mana pergaulan antar-sesama dan antar-budaya dapat dilangsungkan secara terbuka, bebas, dan demokratis. Percampuran yang kemarin dilangsungkan tanpa waswas, kini dihadapi dengan waswas. Benarkah sedang terjadi suatu keterjangkitan “fobia” di antara ‘kita’? Fobia terhadap apa dan siapa?
Lebih dari sekadar soal psikologis, gejala ini mesti diteroka sebagai suatu fenomena afektif-kebudayaan. Diskusi kali ini ingin memantik suatu refleksi yang lebih jauh atas fenomena ini untuk memperdalam kegelisahan ‘kita’ atas hal-hal yang mungkin membuat gejala itu, tanpa ‘kita’ sadari, makin menemukan pembenarannya.
***
Muhammad Al-Fayyadl lahir di Probolinggo, 14 Oktober 1985. Alumnus Pesantren Annuqayah Madura, dan kini menetap di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Probolinggo. Saat ini ia merupakan salah satu pengajar Sastra Roman di Jurusan Sastra Prancis, FIB UGM Yogyakarta.
Ia merupakan salah satu inisiator situs IslamBergerak.com dan Front Nahdliyin untuk Kedaulatan Sumber Daya (FNKSD). Ia juga kontributorindoprogress.com, literasi.co, dan nu.or.id. Karyanya di bidang Filsafat adalah Derrida (2005), Teologi Negatif Ibn ‘Arabi: Kritik Metafisika Ketuhanan (2015), dan Filsafat Negasi (2016).
Forum Umar Kayam edisi Maret 2016 mengundang duo SENYAWA (Rully Shabara dan Wukir Suryadi). Perbincangan dengan SENYAWA akan dilaksanakan pada:
Rabu, 23 Maret 2016
Pukul 15.00-17.00 WIB
Di Ruang Gong PKKH UGM, Bulaksumur
Acara terbuka untuk umum & tanpa dipungut biaya.
***
Dalam kesempatan Forum Umar Kayam PKKH UGM edisi Maret 2016 ini, kami mengundang duo Senyawa sebagai tamu. Senyawa adalah Wukir Suryadi (alat musik Bambuwukir dan seruling Serunai) dan Rully Shabara (vokal). Di luar Senyawa, Rully memiliki grup musik sendiri bernama Zoo. Melalui prakarsa Yes No Wave, mereka dipertemukan dalam sebuah panggung pertunjukan, dan terbentuklah Senyawa (2010).
Sebagaimana dikutip dari situs yesnowave perihal album pertama Senyawa pada 2010, “Senyawa adalah sebuah album musik etnis kontemporer yang diciptakan oleh dua pemuda dari latar belakang musik yang berbeda. Rully berasal dari skena musik rock eksperimental, dan Wukir telah mengabdikan dirinya pada musik tradisional. Enam lagu yang mereka hasilkan telah memoles musik etnis tanpa harus menjadi tradisional yang kaku. Hal ini tentunya menjadi sesuatu yang penting di kalangan anak muda di Indonesia bahwa musik etnis dan tradisional bukanlah hal yang kuno dan terbelakang.”
Kiranya album perdana ini pula yang kemudian membawa mereka kepada pengalaman-pengalaman pentas, tidak hanya di dalam negeri, tetapi juga ke luar negeri. Pementasan Senyawa di arena musik global dimulai pada 2011, yakni di Melbourne International Jazz Festival; dimana mereka berbagi panggung bersama musisi-musisi besar seperti Faust, Tony Conrad, dan Charlemagne Palestine.
Setelahnya, perjalanan musikal mereka di dunia seakan tak terhentikan. Untuk menyebut beberapa saja: Senyawa tampil di MONA FOMA Festival (Tasmania); Adelaide Festival bersama penyanyi Korean Bae Il Dong; hadir sebagai tamu istimewa dalam tur grup musik terkenal Australia ‘Regurgitator’; tampil pada Glatt und Verkert Festival (Austria) bersama master gitar asal Jepang Kazuhisa Uchihashi; juga di Malmo Sommarscen Festival (Swedia); Salihara Literature Festival (Indonesia); Art Basel (Swiss); CTM Festival (Berlin); Café Oto – London, Cyptic Festival Glasgow (Inggris); Copenhagen Jazz House, Copenhagen Jazz Festival (Denmark); Clandestino Festival (Norwegia); Resonate Festival Belgrade (Serbia); Oct Loft Jazz Festival (China). Senyawa juga pernah meraih hibah untuk menjalani tamu-tinggal/residensi di AIR Krems, sebagai bagian dari festival kota Krems (Austria), dimana pada saat itu Senyawa didapuk menjadi bintang tamu.
Senyawa telah mengukir jejak berkolaborasi dan tampil bersama musisi-musisi penting seperti Yoshida Tatsuya, Otomo Yoshide, Lucas Abela, KK Null, Keiji Haino, Rabih Beiani, Melt Banana, Jon Sass, Damo Suzuki, Jerome Cooper, Oren Ambarchi, David Shea, dan Kazu Ushihashi. Pada 2012, mereka merampungkan sebuah film kolaborasi bersama Vincent Moon, pembuat film asal Prancis.
Membaca daftar panjang perjalanan mereka, menarik untuk ditanya lebih jauh perihal awal kolaborasi mereka. Bagi Wukir dan Rully, bagaimana proses dalam duo Senyawa meleburkan tiap-tiap dari mereka yang memiliki karakteristik khas sendiri-sendiri? Terpikirkankah oleh mereka bahwa kolaborasi mereka bisa mencapai titik sejauh ini? Sejauh ini, tanggapan apa yang bagi mereka paling berkesan dari audiens dan kolaborator Senyawa? Apakah ada kesulitan yang Wukir dan Rully hadapi secara individual? Bagaimana mereka memandang Senyawa dalam ranah musik Indonesia? Mimpi apa yang masih ada dalam list praktik penciptaan musik mereka?
Obrolan bersama Senyawa akan dipandu oleh Taufiq Aribowo, dari Mindblasting Netlabel.
“Di Sebuah Lukisan Tentang Masa Depan”, Puisi-puisi Dwi Rahariyoso
Rabu, 16 Maret 2016
Pukul 19.30 WIB-selesai
Di Ruang Gong, Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH UGM, Bulaksumur
Pembahas:
Kuswaidi Syafiie (sastrawan)
Fitriliya Anjarsari (mahasiswa S2 Ilmu Sastra FIB UGM)
MC dan Moderator:
Muajiz Muallim
***
Di Sebuah Lukisan tentang Masa Depan
Di sebuah lukisan tentang masa depan,
pulau-pulau dan laut sepanjang cakrawala
menguap ke angkasa dalam seribu bingar masa lalu;
orang-orang yang dilahirkan; pohon-pohon
dan hutan kemudian ditebang diam-diam
sepanjang musim yang terik dipenuhi kegelisahan
sumur-sumur mengering, dan percakapan-percakapan
terdengar kasar di telinga dengan bermacam jenis binatang
yang berlarian mengaburkan pandangan
Sebuah mobil yang terbakar dan legenda-legenda naga yang
dibangkitkan dari sebuah buku bacaan asing yang diimpor
mengisi rak-rak perpustakaan tak ubahnya sebuah merk dagang
yang terus-menerus melakukan pemberontakan di dalam
tubuhku dan tubuhmu
Di sebuah lukisan tentang masa depan, matahari terbit
menyerap segala isi tanah termasuk pikiran-pikiran
tentang identitas yang kosong. Hidup seperti kemarau yang panjang
dan sunyi melepaskanku untuk berulang-ulang masuk dan keluar
dari tubuhku juga tubuhmu yang tidak pernah hidup untuk berbicara
tentang kebenaran, cinta, dan segelas kopi yang dihidangkan kedai-kedai
sepanjang jalan yang sudah kau gusur di masa lalu.
Di sebuah lukisan tentang masa depan, kita menciptakan kematian
dari pabrik dan mesin-mesin gagasan yang mereproduksi kenyataan
dan kita meninggalkan tubuh-tubuh kita di garasi, seperti rongsokan
yang tidak lagi gesit mencerna waktu yang mengeras layaknya batu
~ 2015
Migrasi
Aku menghitung burung yang bersarang di kepalaku
ketika hutan lebat dan pohon-pohon menghancurkan diri
bersama kemerdekaan yang dimakan rayap
Ketika anak-anak dilahirkan dalam jeda antara nyeri
biaya rumah sakit dan harga elpiji, waktu seperti acuh
menghasilkan angka-angka yang buntu
dari layar kaca pembangunan terus berlanjut menciptakan
utopia yang menyilaukan mata. aku melihat tubuh-tubuh
keluar dari televisi, mengecil dan beraneka macam
berjejalan di jalanan membawa tujuan masing-masing
kemudian terbakar lampu merkuri di petang hari
Aku menghitung burung yang bersarang di kepalaku
ketika sawah dan laut menghasilkan para sarjana dengan mimpi-mimpi
mereka yang eropa, tentang masa depan yang bisa mereka kemas
dalam sebungkus kentang goreng kering dan burger
dimana hati kecil mereka telah dikeringkan sebagai museum
untuk dijual kepada para kolektor dan investor yang menukarnya
dengan sebuah kebahagiaan bekas yang mereka datangkan dari
barat matahari
di televisi, indonesia tengah dibangun ulang seperti baris dan larik
puisi yang begitu syahdu dengan metafora-metafora berdasi yang
senantiasa panik berkaca agar tampak sempurna
lalu jakarta seperti sebuah pediangan raksasa yang menganga;
kayu-kayu dihisapnya menjadi cahaya yang membara termasuk
indonesia yang menghilang sekejap mata—tiba-tiba.
~ 2015
Merk Tubuh
aku mengganti tubuhku dengan sebuah baterai dan charger
sebab ingatan seperti kerupuk. semakin panjang semakin lapuk.
di halaman surat kabar, sebuah pabrik menjual tubuh
lengkap dengan perabotannya.
hidup semakin sulit dan tidak karuan, sebab pikiran-pikiran
yang membuat kekacauan seperti wabah, yang memorandakan
seluruh lapisan badan
tubuhku demikian kenangan. aku menyimpannya dalam sebuah
memori, agar kelak ia awet hingga ke masa depan
~ Yogyakarta, agustus 2015
anonim
sebuah mesin bekerja dalam kesadaranku. dengan bahasa
yang menghancurkan nostalgia ke dalam
bayang-bayang gelap masa lalu. seperti sebuah pabrik
yang berpindah secara mekanis ke dalam tubuhku.
seluruh kenangan ditebang. tubuhku bergerak ke depan
dan meninggalkan cermin sebagai hibrid yang dingin,
menguraikan perasaan-perasaan yang tak hendak
dijaga atau diketahui bahasa. larik dan matriks demikian
fana, sebab setiap saat pikiran mendaur-ulang bahasa
menjadi lampu-lampu, gedung-gedung menjulang, kemacetan,
jalan, lorong, gang, kekacauan, manusia-manusia yang hampa,
suara-suara yang berkerumun kemudian lenyap di ujung bibir.
~ Agustus 2015
Merayakan Kemerdekaan yang Kesekian
Ingatan segera lenyap dari kalender dan bayang-bayang kota
Menancap sepanjang trotoar yang disinari pendar merkuri
Hidup terasa berat dalam kehampaan dan ketidakmenentuan
Di langit kota yang gelap, cahaya bulan kehilangan waktu
Sebagaimana kardus-kardus bekas, botol-botol plastik yang
Memanjangkan hidup dari hari ke hari
Hujan yang membacakan kekalahan-kekalahan
Sepanjang emperan toko yang sepi, kemerdekaan mengubah
Wajahnya diam-diam seperti kerlip bintang yang jauh
Kemudian lenyap ke arah pagi lembab
Dengan selembar uang yang lesu
Orang-orang terbunuh dalam baju-baju bekas mereka
Hilir mudik memenuhi pasar senthir hendak membeli bekas
Kemerdekaan yang dipancarkan dari radio-radio transistor
Di sebuah musim penghujan yang tandus
Lihatlah kota ini seperti ujung dari hidup yang semakin asing
Memecah dirinya dengan warna dan diafragma
Dari sebuah power bank yang mengalirkan sejuta sperma
Revolusi berlangsung sepanjang hari
Orang-orang mencuci tubuhnya silih berganti dengan
Mimpi-mimpi dan kematian yang diciptakan masa depan
~ 2015
Pasar Senthir
Di pasar senthir, kota ini menyembunyikan ingatannya
kehidupan yang diam-diam bergerak di luar kemajuan
ketika hari berganti malam
lapak-lapak berjajar, dan parkir tidak terlalu sesak. Kau bisa
membeli ingatan atau menukarnya dalam sebuah romantisme
picisan seorang tua yang tersesat di masa depan.
atau sekedar memutar kaset-kaset lawas yang cukup membuatmu
tahu bahwa masa muda itu adalah kenangan yang disesalkan
Lihatlah sekeliling! Bekas-bekas hidup terkumpul di sini
dalam serpihan-serpihan tak terduga. Kenikmatan masa lalu,
barangkali hanya kau atau mereka yang tahu. demikian juga waktu,
silih berganti menunggu setiap harapan yang terpendar
dari lampu-lampu merkuri yang lolos menerobos
dahan-dahan angsana.
Tidak cukup uang, ah itu biasa. Menawarlah dengan saksama.
Kau akan mengerti betapa riang dan bahagianya sebuah pertemuan
terjadi, antara kau dan aku.
Sedangkan malioboro telah sunyi jam segini, mall-mall bergengsi
seperti tak hendak membagi keluh kesah hidup yang semakin fakir
di pasar senthir, di balik lahan parkir. Barangkali kebahagiaan hadir
dengan caranya yang nyinyir.
~ Yogyakarta, Agustus 2015
Nokturno
seribu kota tumbuh seperti koloni lebah
yang mendengungkan suara-suara tebing yang kering
dari jendela-jendela apartemen yang dipenuhi
para pengungsi yang kehilangan tubuhnya setelah
kelahirannya ke dunia yang fana
dalam gelombang waktu, manusia bermigrasi terus-menerus
di antara kepala dan meninggalkan tubuhnya yang kaku
di depan pintu toilet karena kehabisan sperma yang
meletup bersamaan dengan lahirnya imajinasi-imajinasi tentang
tuhan
ketika malam hari yang panas, buku-buku memenjarakan fagmen-
fragmen kehidupan masa lalu yang mengalir dari perpustakaan-
perpustakaan seperti sebuah senandung mars internasionale
yang gempita, “Inilah hidup! Mari kita bersatu!”
sekolah-sekolah mencetak pengetahuan digital, seperti ketakutan
terhadap sebuah mimpi yang mekanis tentang kehilangan
yang demikian laut pada diri manusia
seribu kota tumbuh dalam pikiran-pikiran dan batu-batu
dilemparkan ke udara, tidak ada yang benar-benar ditunggu
atau dituju selain kehilangan di ujung masa depan
~ 2015
Berbicara pada Pintu Kamarku
Pada pintu kamarku, aku menemukan ruang bersembunyi dari rasa tua
dan ketakutan akan hari esok yang kembali muda. Seperti waktu yang
benar-benar mengingatkanku pada keluarga yang jauh di sebuah album foto,
pintu kamarku adalah perjalanan bolak balik, mondar mandir, antara
sunyi di masa lalu ke arah sunyi masa kini. Peraduan asing yang sering
mencuri tubuhku ketika tidur, kemudian membongkarnya diam-diam
untuk menghapus masa lalu yang berbunyi nyaring ketika subuh menjelang.
Lalu aku terbangun dan sia-sia seperti sebuah kotak kardus yang dicampakkan
botol-botol minuman. Aku menjadi aku yang lain dalam sebuah perspektif
dingin yang dipenuhi hasrat kelamin.
Setiap kali pintu terbuka ke luar, sebuah nyeri menguar seperti irisan pisau
yang menyayat nasib. Tidak ada yang ke luar dan masuk ke dalam diriku
sebagaimana dirimu yang diam menghadang jarak antara waktu dan sebuah
kehilangan masa lalu. Bayang-bayang yang kita ciptakan adalah batas antara
dunia sehari-hari yang terus bercabang; dunia di dalam kamar yang sumpek
dengan keluasannya, dan dunia di luar kamar yang luas dengan kesumpekannya
seperti ribuan mercon yang meledak di jantungku ketika tahun baru
diumpakan sebagai batu yang membunuhku berulang-ulang.
Pada pintu kamarku, aku menulis namaku dalam tiga frasa yang kaku;
masa lalu, masa kini, dan masa depan. Aku seperti tersebar ke mana-mana.
~ 2015
Di Perpustakaan
Buku-buku adalah kota yang melahirkan jalan pulang kepada
dunia yang fana, dimana setiap kata mereproduksi rindu dan
angan-angan yang berpautan diam-diam di sepanjang keningmu
seperti sentuhan lembut dari sang kekasih yang lama tidak kau
cumbu
Di rak kata-kata, bermacam manusia telah menyimpan dirinya
ke dalam filsafat dan pengetahuan yang mengantar mereka menjadi
nabi yang kekal dalam ketidakmengertian di sudut perpustakaan
yang sumpek. Kemudian mereka mengandaikan tentang asal mula
segala yang berasal dari awal hingga akhir masa, menjadi batas-batas
yang rinci antara ilusi dan kenyataan. Semua berlangsung dari masa lalu
yang buku.
Kami yang membaca adalah kami yang siapa entah dimana, dalam kepala
kami yang semakin luas seperti sabana yang mengelilingi Asia Tenggara,
dan kami benar-benar di situ dan tidak benar-benar di situ. Ketika buku-buku mengingatkan kami pada batas antara waktu dan rindu dari
sebuah jam dinding yang berdentang pada sore hari. Kami terbakar
dalam lembar-lembar masa lalu yang dituliskan kepada masa depan
sejarah yang dihapuskan di negeri ini.
Kami melihat para tentara dan jaksa sedang melakukan revolusi, membangun
sebuah negeri yang malang. Di sebuah buku yang berlubang judulnya,
diam-diam sejarah menghilang, menjelma bayang-bayang dari rak
buku yang berdebu dan sumpek. Lihatlah, jalan pulang itu.
~ 2015
Negara Palsu dan Obat Batuk
Orang-orang menghidupkan televisi dan mereka dilahirkan kembali
sebagai bayang-bayang masa depan yang terbuat dari sisa limbah
dan sampah yang keluar dari cerobong-cerobong pabrik dan minimarket
yang memperbanyak diri
Pabrik-pabrik mengirimkan produksi sebagai hiburan dan mencuri
setiap kenangan yang tersimpan dalam lemari-lemari pakaian di sebuah
masa lalumu. Kemudian menggantinya dengan sebuah tubercolosis
yang mengingatkanmu pada kartu sehat di sebuah puskesmas tanggung
yang dibangun negara untuk memelihara sakit.
Di ibukota yang jauh, mesin-mesin mencetak propaganda perubahan,
panoptikum-panoptikum dibangun, diam-diam bahan bakar dihentikan,
dan orang-orang disekolahkan dari pagi hingga malam yang kehilangan
jati dirinya. Jaman bergerak diam-diam di bawah kendali pikiranmu.
Imajinasi-imajinasi menyaru sebagai plastik. Tanah-tanah menolak
kematian. Di ibukota sebuah rumah sakit tengah dipentaskan dan
para penonton membusuk dalam lubang toilet mereka masing-masing.
Orang-orang membangun tubuh mereka dengan kehilangan yang mereka
ciptakan dari film, telenovela, dan sinetron yang membuat mereka
teringat tentang diri mereka yang telah mati di masa kini.
Semua menjadi tak berarti, seperti sebuah perasaan yang mencekam
ketika membayangkan esok hari matahari berganti dengan cahaya
lampu redup di sebuah kamar rumah sakit jiwa.
~ 2015
***
Dwi Rahariyoso lahir di Ponorogo, Jawa Timur. Alumni S1 jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta dan Alumni S2 Ilmu Sastra Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada. Sempat menjadi peserta dalam acara Pertemuan Penyair Nusantara VI, di Jambi tahun 2012. Saat ini berdomisili di Jambi.
***
DISKUSI SASTRA PKKH UGM
Acara ini dimaksudkan sebagai pergesekan atau persentuhan antar penyair dari generasi yang berbeda, yang diasumsikan mempunyai perspektif atau wawasan estetik yang berbeda. Selain itu juga ada pembahas luar yang berasal dari mahasiswa sebagai semacam sarana praktikum (walaupun tanpa kurikulum).