• Tentang UGM
  • Portal Akademik
  • IT Center
  • Perpustakaan
  • Penelitian
  • Webmail
  • Hubungi Kami
Universitas Gadjah Mada Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri
Universitas Gadjah Mada
  • Beranda
  • Profil
    • Tentang Kami
    • Visi dan Misi
  • Berita
  • Kegiatan
    • Arsip
    • Unduhan
  • Fasilitas
  • Galeri
  • Beranda
  • Berita
  • page. 3
Arsip:

Berita

Yang Terhormat Ibu

Berita Monday, 22 February 2016

“Yang Terhormat Ibu”
Pameran Retrospektif Sri Astari Rasjid 
Seni Rupa, Tari, Wayang
27 Februari-4 Maret 2016

Di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri/PKKH
Jl. Pancasila UGM, Bulaksumur, Yogyakarta.

SRI ASTARI RASJID akan menggelar pameran retrospektif yang menampilkan karya-karya lukisan, fotografi, patung dan seni instalasi. Seniman yang lahir 26 Maret 1953 ini telah menampilkan karya-karyanya dalam berbagai pameran penting di banyak negara, di antaranya di Jakarta, Hongkong, Washington, New York, Moskow, Madrid, London, Paris, Beijing, Venezia Biennale, dan lain-lain. Ia juga telah memenangi beberapa kompetisi senirupa, di antaranya Nokia Arts Award, Phillip Morris Arts Award dan Winsor & Newton Award. Pada tahun 2016 ini, Astari telah dilantik sebagai Duta Besar Republik Indonesia untuk Republik Bulgaria merangkap Republik Albania dan Republik Makedonia, berkedudukan di Sofia. Astari adalah Duta Besar perempuan pertama yang berlatar belakang seniman profesional.

Pameran yang dikuratori oleh Wicaksono Adi ini akan dibuka oleh GKR Hemas pada:
Sabtu, 27 Februari 2016
Pukul 19.00 WIB

Pada acara pembukaan akan ditampilkan tari Bedhaya Kontemporer berjudul “Garba”, koreografi oleh Retno Sulistyorini.

Pada:
Minggu, 28 Februari 2016
Pukul 19.00-04.00 WIB
 akan digelar Pementasan Tembang-Puisi Jawa oleh kelompok Wijijawa, dilanjutkan pergelaran Wayang Kulit semalam suntuk oleh Dalang Ki Seno Nugroho dengan lakon “Banjaran Kunti”.

Selama karirnya sebagai seniman Astari banyak mengembangkan bentuk-bentuk simbolik yang berkaitan dengan unsur dasar yang dimiliki oleh setiap individu, yaitu daya maskulin dan feminin. Yaitu dua potensi daya atau energi yang dimiliki setiap individu dan dapat tumbuh atau berkembang sesuai dengan konteks sosio-historis yang berbeda-beda. Dua daya tersebut tak semata-mata merujuk pada jenis kelamin (gender) karena setiap jenis kelamin (laki-laki dan perempuan) mengandung potensi yang sama, dan jika muncul kecenderungan dominan dari salah satu daya maka hal itu selalu berkaitan dengan karakteristik budaya tempat si manusia hidup.

Secara khusus, Astari banyak mengambil inspirasi karya-karyanya dari kultur asalnya, yaitu kultur Jawa. Astari menegaskan: “saya memandang Jawa sebagai rahim kultural di mana saya lahir dan kemudian menjelajah ke mana saja dan sebagai tempat saya pulang. Dalam upaya menggali dan memahami daya feminin dan maskulin, saya bertolak dari kekayaan khazanah budaya Jawa. Saya tertarik pada garis tegangan antara daya feminin dan maskulin, di mana hubungan antara dua daya tersebut tidak selalu mutlak dan permanen, melainkan dapat terus bergeser dan selalu terdapat negosiasi di antara keduanya. Garis tegangan dua posisi itu juga saya lihat dalam konteks kebudayaan modern dan global.”

Pameran ini terbuka untuk umum dan tidak dipungut biaya.

FORUM UMAR KAYAM

Berita Tuesday, 16 February 2016

“Saya memandang Jawa sebagai rahim kultural di mana saya lahir dan kemudian menjelajah ke mana saja dan sebagai tempat saya pulang. Dalam upaya menggali dan memahami daya feminin dan maskulin, saya bertolak dari kekayaan khazanah budaya Jawa. Saya tertarik pada garis tegangan antara daya feminin dan maskulin, di mana hubungan antara dua daya tersebut tidak selalu mutlak dan permanen, melainkan dapat terus bergeser dan selalu terdapat negosiasi di antara keduanya. Garis tegangan dua posisi itu juga saya lihat dalam konteks kebudayaan modern dan global,” adalah petikan pernyataan Sri Astari Rasjid tentang hal yang menginspirasinya dalam berkarya.

Astari—demikian ia akrab disapa—telah menjalani karir sebagai seniman profesional selama kurang lebih 26 tahun. Pada penghujung Februari 2016 ini ia akan menggelar pameran retrospektif berjudul “Yang Terhormat Ibu” di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri, Universitas Gadjah Mada (PKKH UGM). Pameran ini dihelat hanya beberapa hari sebelum keberangkatannya menjalani tugas negara sebagai Duta Besr Republik Indonesia untuk Republik Bulgaria merangkap Republik Albania dan Republik Makedonia, berkedudukan di Sofia.

Dalam obrolan dengan Astari di Forum Umar Kayam, akan kita dengarkan tuturan Astari tentang perjalanan kesenimanan yang sudah ia jalani mendekati tiga dasawarsa ini. Karya-karyanya dikenal banyak mengembangkan bentuk-bentuk simbolik yang berkaitan dengan unsur dasar yang dimiliki oleh setiap individu, yaitu daya maskulin dan feminin. Mengapa ia begitu menaruh perhatian pada hal ini? Bagaimana ia melihat geliat kedua daya ini pada awal ia memulai fokus pertamanya ini dibandingkan saat ini dimana isunya berpantulan dalam dinamika kehidupan sosial di era digital? Mengapa penjelajahan dan eksplorasi mengenai budaya Jawa begitu menarik baginya? Sebagai seorang seniman yang sudah malang melintang di berbagai peristiwa senirupa internasional, apa yang ia rasa belum ia capai? Dengan jabatan sebagai Duta Besar yang ia emban saat ini, apakah agenda kebudayaan yang sudah ia persiapkan?

Obrolan dengan Astari dalam Forum Umar Kayam kali ini akan dipandu Pitra Hutomo—salah satu pegiat dokumentasi senirupa dari Indonesian Visual Art Archive/IVAA, akan diselenggarakan pada:

Rabu, 24 Februari 2016
Pukul 15.00-17.00 WIB
Di Ruang Gong, PKKH UGM, Bulaksumur

*Acara terbuka untuk umum dan gratis.

Pameran “Yang Terhormat Ibu” oleh Sri Astari Rasjid akan digelar 27 Februari hingga 4 Maret 2016, di Ruang Pameran dan Hall PKKH. Ada serangkaian kegiatan menarik yang sangat layak simak. Kami akan unggah publikasinya segera untuk Anda.

Masihkah ada Cinta d(ar)i Kampus Biru

BeritaEvent Tuesday, 16 February 2016

“Masihkah ada Cinta d(ar)i Kampus Biru”
Diproduksi oleh Teater Gadjah Mada, bekerjasama dengan Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM.
Adaptasi atas novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar. Disutradarai oleh Irfanuddien Ghozali
Pementasan teater ini akan diselenggarakan pada:
Kamis, 11 Februari – Jumat, 12 Februari 2016, jam 19.30 WIB
Di Ruang Pameran PKKH UGM
Berita gembiranya, tiket pementasan teater ini sudah terjual habis pada hari pertama publikasinya diluncurkan di media sosial. Pementasan memang hanya digelar dua hari, total tiga sesi pementasan, di mana setiap sesinya hanya dibatasi 70 orang penonton saja.
Kami haturkan maaf kepada Anda yang kehabisan tiket. Kami selaku penyelenggara akan mencari cara agar dokumentasi video pementasan ini dimungkinkan untuk bisa diakses secara online beberapa saat pasca pementasan.
Salam.
***
Pengantar Pertunjukan
Pertunjukan “Masihkah ada Cinta d(ar)i Kampus Biru?” merupakan tafsir ulang novel Cintaku di Kampus Biru karya Ashadi Siregar. Novel Cintaku di Kampus Biru sendiri bercerita tentang kisah cinta seorang mahasiswa bernama Anton yang mengambil latar di kampus UGM. Novel tersebut juga pernah diangkat ke dalam medium film oleh sutradara Ami Prijono pada tahun 1976.
Pertunjukan ini akan mengambil sebagian kisah cinta Anton di Kampus Biru. Yakni, kisah cinta Anton dengan mahasiswi bernama Marini serta seorang dosen bernama Yusnita. Rumitnya hubungan Anton dengan Marini, membuat mahasiswa Psikologi tersebut jengah. Di sisi lain, vak (nilai ujian) mata kuliah Bu Yusnita tak kunjung keluar, padahal Anton termasuk mahasiswa yang masa kuliahnya sudah terlampau lama. Dekan pun tidak memberikan solusi sama sekali atas permasalahan yang Anton hadapi. Namun siapa sangka, penelitian ke Dieng menjadi awal tumbuhnya cinta antara Anton dan Bu Yusnita. Setelah itu bumbu-bumbu asmara menyelimuti hubungan Anton dengan dosennya tersebut.
Tokoh-tokoh di dalam cerita akan diperankan secara bergantian oleh para aktor. Anton yang notabene seorang laki-laki, terkadang akan dimainkan oleh aktor perempuan. Ataupun, sosok Marini yang akan diperankan oleh laki-laki.
Masih dalam rangkaian project ini, telah digelar Diskusi “Mengunjingkan Kembali Cintaku di Kampus Biru Sebagai Penanda Zaman”, dengan pembicara:
a. Prof. Dr. Faruk H.T. (dosen Sastra Indonesia FIB UGM)
b. Syafiatudina (peneliti Kunci Cultural Studies / alumni UGM)
Pada Selasa, 09 Februari 2016 lalu, di Ruang Gong, PKKH UGM.
Patut diakui, selama mengenyam dunia kampus, kita akan bertemu dengan tiga hal, yaitu buku, cinta, dan pesta. Ketiga kata tersebut disematkan dalam sebuah kalimat yang ditulis oleh Ashadi Siregar di novelnya, yaitu Cintaku di Kampus Biru. Tiga kata yang tentu akan dikenang oleh setiap orang yang pernah merasakan manis dan pahitnya menjadi mahasiswa. Novel Cintaku di Kampus Biru mulai muncul pada tahun 1974. Sebelumnya, pernah terbit sebagai cerita bersambung di harian Kompas sejak tahun 1972.
Novel Cintaku di Kampus Biru sudah menyedot perhatian publik sejak pertama kali diterbitkan oleh Gramedia. Pada tahun 1974, tercatat sekitar 9.200 novel Cintaku di Kampus Biru laku di pasaran. Angka tersebut naik di tahun 1975 menjadi 14.120. Puncaknya, pada tahun 1976, novel tersebut terjual mencapai angka 16.730. Di tahun yang sama juga lahir film “Cintaku di Kampus Biru” yang dibintangi Roy Marten dan Yati Octavia. Pada periode tersebut, novel semacam Cintaku di Kampus Biru memang naik popularitasnya. Selain Cintaku di Kampus Biru, beberapa novel lain milik Ashadi Siregar juga laku di pasaran. Semisal, Kugapai Cintamu dan Terminal Terakhir, keduanya juga diterbitkan oleh Gramedia. Novel milik Ashadi Siregar tersebut, bersanding dengan novel Karmila dan Badai Pasti Berlalu karya Marga T.
Bagi Ashadi Siregar, novel mempunyai sebuah fungsi bagi lingkungan sosial. Fungsi tersebut bercabang menjadi dua. Pertama, berfungsi untuk menghibur sebagai kebudayaan massa yang paling murni. Kedua, sebagai pembentuk sikap sosial. Kedua fungsi diatas berangkat dari ide pokok prinsip-prinsip komunikasi massa. Novel yang ditulis oleh Ashadi Siregar berangkat dari pengalaman individual serta kebudayaan kolektif masyarakat saat itu. Karena itu, novel seperti Cintaku di Kampus Biru memang ditujukan untuk generasi saat itu. Sebab, problem sosial yang dibicarakan sesuai dengan periode tersebut. Selain itu, setiap generasi mempunyai problem sosial yang berbeda-beda. Ashadi menyatakan, bahwa novelnya tidak berpretensi untuk menjadi karya yang abadi dan akan dikenang sepanjang masa. Hanya saja, novel Ashadi Siregar, terutama Cintaku di Kampus Biru sampai sekarang masih dikenang, bahkan dikenal oleh publik sekarang. Terutama trademark “Kampus Biru” yang masih melekat di tubuh Universitas Gadjah Mada
Nilai-nilai zaman yang ada dalam novel Cintaku di Kampus Biru merupakan sebuah pergunjingan. Bagi Ashadi Siregar, novel merupakan sebuah cara untuk mempergunjingkan manusia. Diskusi “Mengunjingkan Kembali Cintaku di Kampus Biru Sebagai Penanda Zaman” ini merupakan sebuah wadah untuk “ngrasani” kembali novel Cintaku di Kampus Biru serta kampus UGM sendiri. Diskusi tersebut bertujuan untuk menggali nilai-nilai zaman yang ada dalam novel Cintaku di Kampus Biru. Serta, mengulik korelasi novel Cintaku di Kampus Biru dengan kehidupan kampus UGM sekarang. Diskusi ini juga berniat untuk memancing beberapa pandangan dari berbagai generasi yang semoga saja berguna bagi kemajuan UGM. Patut dipertanyakan, masihkah ada cinta d(ar)i Kampus Biru?
***
TIM PRODUKSI – Manajer Produksi: Muh. Rasyid Ridlo | Asisten Manajer Produksi: Citra Kurnia Sholihat | Media Relations: Taufiq Nur Rachman | Koordinator Desain & Publikasi: Elfi Husniawati | Tim Desain & Publikasi: Henricus Pria, Kaliful Kurniawan | Dokumentasi: Bondan Wicaksono, M Rizki Fadilla, Mahdi Muhammad | Hospitality: Shoim Mardhiyah | Front Desk dan Usher: Anarentika FS, Hamima Nur Hanifa, Karisa Saraswati, Muhammad Fawwaz F, Muhammad Rizal Ramadhan, Muhammad Lukman Hakim, Nabila Noorhafizah, Rama
TIM ARTISTIK – Sutradara: Irfanuddien Ghozali | Aktor: Anggita Swestiana, Akmal Jauhari, Aprillia Saraswati, Erlin Kencanawati, Jannatiyana Suwinda, Muhammad Eva Nuril, Wedita Destriani, Wisnu Yudha Wardhana | Stage Manager: Gading Narendra Paksi | Stage Crew: Miqdad Muhammad, Pascal Caboet | Penata Set dan Properti: Suluh Senja |Penata Kostum : Irmaningsih Pudyastuti | Tim Penata Kostum: Dea Amelia K, Eko Setyowati | Penata Make up: Anggita Swestiana | Penata Cahaya: Samuel Payo | Tim Penata Cahaya: Hiskia Andika W, Muhammad Haikal M, Rafiq Aly Nurdin, Rahmat Sukendra S | Penata Musik: Gardika Gigih, Irfan Drajat | Tim Penata Musik: Simplicity Fraternity Confidenty | Penata Video: Muhammad Dzulqornain
TIM PENULIS DAN ILUSTRATOR – Fasilitator dan Editor: Wisnu Yudha Wardhana | Penulis: Anta Kusuma, Bagus Panuntun, Daud Sihombing, Dwi Utami, Irfan R. Drajat, Melalusa Ucha, Muhammad Faisal, Muh. Rasyid Ridlo, Satrio Dwicahyo, Sitti Rahmania, Titah Asmaning, Vita Soemarno | Ilustrator: Iqbal Rahadyan, Lefiadhi Premana, Muhammad Nabil, Nabila Auliani Ruray, Nabiilah Yumna Fauziyyah, Nurlahari Al Reski, Safiera Dhea Azmani
***
Ucapan Terima kasih
Person: Drs. Ashadi Siregar, Prof. Dr. Faruk HT, Aisyah Hilal, Drs. Hendrie Adji Kusworo, M.Sc, Agung Kurniawan, Tri Sugiharto, Herlambang Yudho, Puthut Ea, Syaifiatudina, Muhammad AB, Ika Ayu | Instansi: Universitas Gadjah Mada, Gelanggang UGM, KRST Psikologi UGM, UFO UGM, Mapagama UGM
Media Partner : @pamityang2an, Jogja Student, Kanal Tiga Puluh, Berita Jogja, Warning Magz
Credit Songs :
1. “Cintaku di Kampus Biru” (Adjie Bandy, 1976) diaransemen ulang oleh Irfan Drajat (2016)
2. “We Shall Over Come” diaransemen ulang oleh Irfan Drajat (2015)
3. “Love Grass” (Gardika Gigih, 2016)
4. “Gaudeamus Igitur” courtesy via Youtube
5. “Blue Velvet” (Bernie Wayne dan Lee Morris, 1950) diaransemen ulang oleh Gardika Gigih (2016)
6. “Que Sera, Sera” (Jay Livingston dan Ray Evans, 1956) diaransemen ulang oleh Gardika Gigih (2016)
7. “Anton Rorimpandey” (Irfan Drajat, 2016)
Credit Video :
Potongan scene dari film Cintaku di Kampus Biru (Ami Prijono, Safari Sinar Sakti Film, 1976), courtesy via Youtube
Ilustrasi :
1. “Timpang Sebelah” | Alia Ruray, 2016
2. “Romansa Hitam di atas Putih” | Alia Ruray, 2016
3. “Kecup” | Alia Ruray, 2016
4. “Liberasi Wanita” | Alia Ruray, 2016
5. “Anton” | Nabiilah Yumna Fauzziyah, 2016
6. “Kartu Pos Rindu” | Iqbal Rahadyan, 2016
7. “Merakit Mimpi” | Safiera Dhea Azmani, 2016
8. “Bersih” | Muhammad Nabil, 2016

Pertunjukan musik Retetet Ndona-ndona

BeritaEvent Monday, 25 January 2016

Jogja Artweeks 2016 dan PKKH UGM mempersembahkan:

Percakapan dengan Kebisingan 2.0: Orkestra Retetet Ndona-Ndona

Sebuah Pertunjukan Partisipatoris karya Jay Afrisando

 

Pada:

Rabu, 27 Januari 2016

Mulai pukul 19.30 WIB (pintu dibuka: 19.00 WIB)

di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM

 

Penonton dapat bergabung di acara ini dengan memberikan kontribusi sebesar Rp 20.000,-

 

***

Kebisingan telah menjadi bagian dari kehidupan manusia yang tidak dapat dipungkiri dan tiada mampu dihindari. Perlu disadari dan diakui pula, bahwa kebisingan-kebisingan yang tidak diinginkan menjadi salah satu pemicu stres yang berakibat pada menurunnya kualitas hidup manusia yang terpapar kebisingan tersebut.

 

Idealnya, manusia harus mengurangi paparan kebisingan atas dirinya untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Namun bagaimana jika keadaan ideal tersebut tidak mampu dicapai? Apa solusinya? Salah satu solusi yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan percakapan dengan kebisingan. Bukan untuk merayakan kebisingan, namun untuk merangkul masalah kebisingan dengan harapan kita dapat mengurangi kebisingan yang berdampak pada kualitas hidup manusia.

 

Pada Jogja Artweeks 2015 lalu, Percakapan dengan Kebisingan yang digagas oleh Jay Afrisando telah ditampilkan dalam bentuk karya audio visual yang mengangkat pengalaman bercakap-cakap dengan kebisingan di ruas-ruas jalan raya di Yogyakarta. Karya tersebut cukup berhasil memberikan gambaran bagaimana musik sebagai media percakapan mampu melakukan dialog dengan kebisingan jalan raya.

 

Namun demikian, dalam karya tersebut audiens hanya menjadi pengamat terhadap percakapan dengan kebisingan yang dihadirkan. Pengalaman audiens dalam percakapan dengan kebisingan akan lebih kaya jika audiens juga ikut berpartisipasi dalam percakapan tersebut. Oleh sebab itu, karya Percakapan dengan Kebisingan 2.0: Orkestra Retetet Ndona-ndona yang akan ditampilkan kembali oleh Jay Afrisando ini diciptakan untuk memberikan ruang yang lebih luas kepada masyarakat untuk bercakap-cakap dengan kebisingan.

 

Karya Percakapan dengan Kebisingan 2.0 : Orkestra Retetet Ndona-Ndona bertujuan mengajak kita semua untuk merangkul masalah kebisingan yang terjadi di sekitar kita. Dengan harapan, kita dapat berpikir ulang tentang ruang suara dan kontribusi masyarakat padanya serta dapat menempatkan bunyi pada konteks yang tepat (berdasarkan ruang dan waktu yang tepat) dengan kesadaran tanggung jawab akan bunyi itu pada diri sendiri dan masyarakat. Perwujudan percakapan dengan kebisingan tersebut akan disajikan dalam bentuk pertunjukan oleh 5 orang musisi dan bersifat partisipatoris. Artinya, penonton pertunjukan adalah bagian dari kolabolator dalam pertunjukan ini.

 

Karya ini akan dipresentasikan sebagai kelanjutan Jogja Artweeks 2015 dan untuk menyongsong Jogja Artweeks 2016 yang akan diselenggarakan pada bulan Mei 2016 mendatang.

Kebisingan akan ditampilkan dalam bentuk suara-suara kendaraan bermotor yang telah dibuat dalam bentuk dokumen audio dalam aplikasi telepon genggam (iOS & Android) yang bisa dengan bebas

diunduh dan dimainkan oleh siapa saja. Aplikasi ini yang akan digunakan oleh penonton pertunjukan sebagai media partisipasi. Sehingga penonton diharapkan TELAH MENGUNDUH aplikasi tersebut sebelum memasuki ruang pertunjukan.

 

Pada akhirnya, karya ini adalah hasil kolaborasi antara musisi, perekam audio, programmer aplikasi, dan penonton pertunjukan.

 

Pertunjukan ini dipersembahkan oleh Jogja Artweeks 2016 dan PKKH UGM serta didukung oleh Mangrove Printing, Viavia Restaurant Yogyakarta, Momento Café, American Corner UMY, Waroeng DeMID, Wartajazz, ArdiaFM, JogjaUpdate, PamitYang2an, dan ElangElangElang.

Pekan Musik Laras

BeritaEvent Friday, 8 January 2016

Pekan Musik LARAS

LARAS Studies of Music in Society dan PKKH UGM menyelenggarakan Ansambel Musim Hujan: Konser Penggalangan Dana LARAS. Konser ini merupakan bagian dari rangkaian PEKAN MUSIK LARAS, 8-15 Januari 2016.

Keseluruhan angkaian kegiatan terdiri dari:
Off-Stage Sessions
((rangkaian artist talk dengan musik dan pemutaran film))
((gratis))

– Off-Stage Session #1
Jumat, 8 Januari 2016 | 16:00 WIB | FISIPOL UGM
Bincang-bincang tentang proses kreatif sebagai perupa dan musisi bersama Farid Stevy Asta

– Off-Stage Session #2
Minggu, 10 Januari 2016 | 19:00 WIB | Djendelo Koffie
Bincang-bincang tentang proses songwriting bersama Gilbert Pohan dan Sarita Fraya

– Off-Stage Session #3
Rabu, 13 Januari 2016 | 19:00 WIB | Indiecology Café
Pemutaran film “The Other Option” dan bincang-bincang tentang penyelenggaraan tur band skena independen, bersama Gisela Swaragita dan Satya Prapanca

Puncak kegiatan adalah “Ansambel Musim Hujan: Konser Penggalangan Dana LARAS”
Akan diadakan pada
Jumat, 15 Januari 2016
Pukul 18:30 WIB
Di Hall Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM
bersama Beyond Project, Chick and Soup, Frau, Jalan Pulang, Risky Summerbee and the Honeythief, Seahoarse, Slipping Pills.

Donasi: Minimal Rp 50.000,- (bonus pembatas buku)
Paket Donasi:
– Bundle A (bonus pembatas buku dan buku): Rp 80.000,-
– Bundle B (bonus pembatas buku, buku, dan tote bag): Rp 140.000,-
– Bundle C (bonus pembatas buku, buku, tote bag, dan kaos): Rp 210.000,-

Dukungan dan kegembiraan Anda menikmati musik sangat kami nantikan. Sampai jumpa!

***
Informasi:
0856 2965 819 (Tyas)
Twitter: @infoLARAS
Instagram: @infolaras
http://pekanmusiklaras.wordpress.com/

ANTAWACANA

BeritaEvent Monday, 7 December 2015

Panitia Jogja Street Sculpture Project (JSSP) 2015 bekerjasama dengan PKKH UGM menyelenggarakan diskusi, yang diniatkan sebagai wahana bagi masyarakat Yogyakarta menyampaikan respon kritis terhadap perhelatan “ANTAWACANA” JSSP 2015.

Diskusi akan diselenggarakan pada:
Senin, 7 Desember 2015
Pukul 15.00 WIB-selesai
Di Ruang Gong PKKH UGM, Bulaksumur

Diskusi akan diawali dengan paparan dari Anusapati (Ketua Asosiasi Patung Indonesia/API) dan Tim Panitia JSSP 2015.

Sebagai rangkaian dari diskusi ini, Anda dipersilakan untuk mengikuti salah satu dari dua hari guided-tour yang merupakan kegiatan reguler selama JSSP 2015 berlangsung. Pilihan hari guided tour adalah:
– Sabtu, 5 Desember 2015, pukul 16.00 WIB
– Minggu, 6 Desember 2015, pukul 16.00 WIB
Start: Plaza Tugu Golong-giling, sampai Kleringan.

Acara diskusi ini terbuka untuk umum. Jadi mari datang dan mengobrol! Salam.

***
Pemantik diskusi:
Meningkatnya penyelenggaraan pameran dan apresiasi karya seni patung di ruang publik menjadi sinyal positif terhadap perkembangan aktivitas seni rupa di Indonesia, khususnya di Yogyakarta. JSSP (Jogja Street Sculpture Project) 2015 hadir dengan menampilkan 32 patung yang menghiasi sudut kota Yogyakarta, dari jalan Margoutomo hingga Kleringan. Dampak positif dari kehadiran karya seni patung di ruang publik tidak hanya mampu menjadi sarana edukasi masyarakat terhadap karya seni rupa, tetapi juga mampu menjadi medium komunikasi atas fenomena realitas sosial yang berkembang di lingkungan masyarakat.

Jalan Margoutomo hingga Kleringan dipilih karena secara simbolik daerah Tugu berada di pusat kota. Selain itu jalanan relatif lengang serta potensial sebagai destinasi wisata setelah Malioboro. Konsep Street dipilih karena mampu menyerap sifat-sifat pada karya seni jalanan, dimana sifat temporer namun mengutamakan sensasi visual sebagai unsur pembentuk kesan atraktif dan sensasional. Melalui ukuran, rancangan patung, display, elemen pendukung seperti warna, gestur, material, diharapkan mampu menjadi kesatuan yang dapat membentuk karya yang interaktif. Seniman dan kurator bekerjasama untuk menciptakan serta menyajikan sebuah karya seni patung yang dapat mengungkap trend persoalan sosial yang terjadi. Dengan membangun komunikasi yang cepat dan interaktif, masyarakat mendapat pengalaman visual untuk membangkitkan nilai-nilai yang mungkin terpendam.

Ruang publik tidak hanya dipandang sebagai sebuah ruang yang dipergunakan oleh publik dan dikelola oleh pihak-pihak tertentu saja, tetapi mulai timbul pandangan bahwa ruang publik merupakan arena dalam menghadirkan simbol kekuatan. Simbol-simbol tersebut terimplementasi dalam bentuk fungsional dan nonfungsional, seperti halnya kehadiran infrastruktur bagi pengguna ruang publik. Infrastruktur tersebut dihadirkan oleh pihak pengelola bagi pelayanan dan kemudahan publik, antara lain papan informasi, trotoar, traffic light, ruang duduk, halte, dan lain sebagainya.

Infrastruktur tersebut dihadirkan untuk menciptakan interaksi pada publik, baik untuk menimbulkan rasa nyaman, aman, terhibur, teredukasi, dan sikap positif lainnya. Dalam konteks pameran karya seni patung di ruang publik, JSSP melalui karya seni yang dihadirkan berupaya agar timbul kesadaran bagi masyarakat melalui tema yang disajikan. Masyarakat diharapkan merespon karya seni tidak hanya sebagai obyek aktualisasi diri dalam bentuk selfie saja, sebagai trend budaya masyarakat di era sosial media. Tetapi timbul kesadaran untuk ikut memahami makna yang terkandung dalam karya yang disajikan. Dalam mendukung hal tersebut, panitia telah mendukung display karya dengan caption yang memberikan informasi terkait seniman, media yang digunakan beserta konsep. Serta terdapat QRCode yang mampu di-scan dengan teknologi smartphone, sehingga pengunjung dapat terakses dengan website yang secara lengkap mengakomodir berbagai informasi terkait penyelenggaraan dan karya seni secara spesifik. Dengan demikian, pameran yang diselenggarakan tidak hanya bersifat rekreatif, tetapi juga edukatif.

Pameran seni patung di ruang publik JSSP 2015 merupakan awal untuk melangkah pada proyek yang lebih besar dengan capaian yang lebih tinggi. Diharapkan kehadiran JSSP mampu menjadi agenda event berkala yang diselenggarakan di Yogyakarta, sehingga secara langsung dan tidak langsung berdampak bagi sektor ekonomi, pariwisata dan budaya masyarakat dalam hal apresiasi seni rupa. Dibutuhkan dukungan banyak pihak agar tercipta pameran yang berkualitas dan mampu membawa nama Yogyakarta lebih termasyhur di mata dunia. (JSSP 2015)

Forum Umar Kayam bersama Yudi Ahmad Tajudin

BeritaEvent Thursday, 12 November 2015

“Lahir, Tumbuh, Kembang Teater Garasi”

27 November 2015, pukul 15.00-17.00 WIB, di Ruang Gong PKKH UGM

 

Teater Garasi adalah salah satu potret teater yang hingga kini memiliki napas dan sedang terus mencatat pengalaman panjang. Lahir dari lingkungan kampus di tahun 1993, dengan berpijak pada keyakinan dan praktik langsung bahwa seni pertunjukan adalah sekaligus proses dan laku produksi pengetahuan, untuk terlibat secara dialektis dalam lingkungan sosial dan politik.

Visi dan basis praktik ini mengantarkan karya-karya dan awak Teater Garasi ke dalam kancah seni pertunjukan global sejak tahun 2000-an. Untuk menyebut beberapa di antaranya: Singapura, Berlin, Tokyo, Shizuoka, Osaka, New York, dan Amsterdam.

Pada 2013, Teater Garasi terpilih menjadi salah satu dari pegiat kebudayaan dan kesenian yang memperoleh penghargaan Prince Claus Award di Belanda. Bersama mereka adalah peraih penghargaan dari Afrika Selatan, Pakistan, Chile, Paraguay, Colombia, Benin, China, serta dari Trinidad & Tobago. Sebagaimana dikutip dalam laman Prince Claus Fund, penghargaan ini diberikan kepada seniman, pemikir dan lembaga yang menonjol, yang laku budaya dan artistiknya telah membawa dampak positif ke dalam pembangunan negaranya. Mereka adalah panutan dan sumber inspirasi penting bagi orang-orang di sekitar mereka.

Forum Umar Kayam PKKH UGM mengundang Yudi Ahmad Tajudin (Direktur Artistik Teater Garasi) untuk berkisah tentang proses lahir, tumbuh, dan kembang kelompok teater ini.

Faruk, yang akan menjadi teman mengobrol Yudi Ahmad Tajudin dalam perbincangan ini memberi catatannya:

Teater Garasi yang saya kenal adalah teater yang menggabungkan ke dalam dirinya kekuatan pemikiran, konsep-konsep teoretik dan filosofis, yang diwujudkan dalam tampilan visual yang nyaris menyerupai sebuah karya seni rupa kontemporer, dengan musikalitas yang juga nyaris eksperimental, pola akting yang meliputi seluruh tubuh, dengan memaksimalkan kemungkinan gerak dan ekspresi serupa seni tari, dan terkadang senam atau olah raga, dan pola narasi yang bercampur-baur dengan renungan sosiologis-filosofis yang serius, dagelan yang terkadang sangat lucu.

Memasuki dunia pentas-pentas Teater Garasi, kita seakan memasuki sebuah dunia yang aneh, serba ajaib, tetapi juga sangat akrab.  Khususnya untuk dunia teater di Yogyakarta, Teater Garasi, menurut saya, tidak ada duanya. Dan ia menjadi lebih ajaib ketika tumbuh dalam lingkungan teater Yogya yang pada umumnya konservatif, reproduktif, mengulang-ulang, dan berusaha setengah mati untuk mencapai apa yang justru sudah dicapai jauh sebelumnya. Entah kerasukan apa Teater Garasi ini.

Rangkaian Proyek Seni Indonesia Berkabung: Pameran Seni Rupa “Duh Gusti” Digelar 18 September 2015

BeritaEvent Thursday, 17 September 2015

poster lomba doa bersama_cahaya negeri 2015_for Print_revisi tanggal diperpanjang_001

Pameran Seni Rupa “Duh Gusti” yang berada dalam rangkaian Proyek Seni Indonesia Berkabung akan digelar pada Jumat, 18 September 2015 di Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH) UGM. Pameran ini akan berlangsung hingga 25 September 2015 dengan menghadirkan karya dari tujuh perupa dan performer.

Pameran Seni Rupa “Duh Gusti” alih-alih mengungkapkan rasa duka, keprihatinan namun juga menunjukkan optimisme terhadap kondisi sosial-politik yang tengah berlangsung di Indonesia melalui karya yang ditampilkan. “Duh Gusti” selain menjadi ungkapan kesedihan yang dalam namun dapat pula dimaknai sebagai ungkapan permohonan terhadap yang maha kuasa.

Seniman yang terlibat dalam pameran ini yaitu: Cahaya Negeri (kolaborasi antara Agnesia Linda, Doni Maulistya dan Nindityo Adi Purnomo), Dito Yuwono, Elia Nurvista, Fajar Suharno, Ngakan Ardana, Pang Warman, dan Wimo Ambala Bayang serta dikoordinir oleh Pius Sigit Kuncoro. Dalam pameran Seni Rupa “Duh Gusti” juga akan ditampilkan 60 karya hasil kegiatan melukis bersama yang pernah diselenggarakan satu bulan lalu di Beringin Soekarno, Universitas Sanata Dharma. Sebelumnya, para seniman telah melalui beberapa sesi focused group discussion bersama dengan anggota Proyek Seni Indonesia Berkabung guna menggali gagasan serta tema yang hendak diangkat.

Karya-karya yang ditampilkan kebanyakan bersifat interaktif, seperti karya Elia Nurvista yang mengundang pengunjung pameran untuk bermain monopoli. Sementara itu, Ngakan Ardana mengajak pengunjung untuk menuliskan situasi atau hal-hal yang dinilai membawa sial dalam hidupnya di secarik kertas dan menggantungkannya di tali sepanjang ruang pamer lantai bawah. Cahaya Negeri mengajak pengunjung untuk merapalkan doa-doa dalam podium-podium yang disediakan. Pengunjung juga dapat mengirimkan doa ke akun sosial media Cahaya Negeri dan akan ditampilkan melalui layar. Wimo Ambala Bayang akan menampilkan video yang diproyeksikan pada rolling door yang berisikan teks karya Puthut EA dan akan dibacakan oleh Syafiatudina. Pang Warman akan menghadirkan instalasi lima rangkai pintu jawa (gebyok) yang dapat diakses oleh seluruh pengunjung. Performer Fajar Suharno juga akan merespon instalasi tersebut dengan melakukan gerakan-gerakan taichi pada malam pembukaan pameran.

Di akhir pameran, kumpulan kertas karya Ngakan Ardana akan dibakar melalui prosesi Pralaya Matra (sebagai bentuk prosesi buang sial) dan sekaligus menandai penyelenggaraan Festival Musik “Berani Jujur” pada 25 September 2015 (hari pungkasan pameran “Duh Gusti”). Keseluruhan acara ini gratis dan terbuka untuk umum. Pameran dibuka setiap hari, pukul 10.00-21.00 WIB.

Forum Umar Kayam PKKH bersama Didik Nini Thowok

BeritaEvent Thursday, 17 September 2015

Ia terlahir dengan nama Kwee Tjoen Lian. Pada sebuah fase hidupnya, orangtuanya mengubah nama bocah ini menjadi Kwee Tjoen An. Adakah Anda familiar dengan nama ini? Jika Anda asing, mungkin nama Didik Hadiprayitno akan membantu. Orang sama yang kita bicarakan ini kemudian populer dengan nama Didik Nini Thowok . Ia adalah salah seorang penari Indonesia ternama, terutama melalui koreografi tarian dua wajah.

PKKH UGM mengundangnya dalam Forum Umar Kayam untuk berbagi cerita tentang pengalaman dan visinya tentang kerja kreatif dalam menari, serta pendapat kritisnya tentang ranah seni tari Indonesia dalam peta seni tari dunia.

Acara akan diadakan pada:

Hari/Tanggal: Selasa, 29 September 2015

Waktu: Pukul 14.00-16.00 WIB

Tempat: Ruang Gong PKKH UGM, Bulaksumur

Kepada Didik Nini Thowok, akan ditanyakan: Bagaimana pada awalnya ia memutuskan untuk mengolah gaya tari dengan dua wajah? Apa latar belakangnya? Siapa yang paling memengaruhi dan menginspirasinya dalam mengeksplorasi koreografi tersebut? Eksplorasi estetik seperti apa yang ia lakukan dalam mencipta koreografi secara umum, dan dalam mencipta koreografi dua wajah secara khusus? Gagasan tampil dua wajah oleh satu orang performer juga dilakukan oleh nama-nama lain di Indonesia. Apa yang menurut Didik membedakan kreasinya dengan performer lain? Apakah bentuk kreasi ini akan mencapai titik jenuh eksplorasi?

Didik pernah diundang menjadi pembicara dalam konferensi cross-gender terkait proses kreatifnya di dunia tari. Bagaimana pandangannya tentang wacana cross-gender di dunia tari? Bagaimana menurutnya persepsi umum di Indonesia tentang wacana ini?

Sebagaimana penari-penari profesional dan senior lain, Didik mendirikan sanggar tari, yang ia beri nama Sanggar Tari Natya Lakshita. Dalam sebuah obrolan, ia sempat katakan bahwa pelaku seni harus paham hal manajerial dan tertib manajemen. Didik memang tidak hanya menari, tapi ia menjalankan peran sebagai seorang networker seni, yang wilayah jangkaunya sudah mendunia. Bagaimana ia melihat kecenderungan terkini ranah seni tari di Indonesia? Apa saja elemen infrastruktur seni tari yang perlu dibenahi di Indonesia?

Faruk HT akan memoderatori obrolan dengan Didik Nini Thowok ini.

Seminar Politik Kritik Sastra di Indonesia

BeritaEvent Tuesday, 7 July 2015

PKKH UGM menyelenggarakan Seminar berjudul “POLITIK KRITIK SASTRA DI INDONESIA”, pada 24-25 November 2015 mendatang, di Hall PKKH.
[fresh_tabs][tab title=Jadwal-Acara]

Jadwal Seminar “Politik Kritik Sastra di Indonesia”

 

Hari Pertama. Selasa, 24 November 2015  
08.50 – 09.00 WIB Registrasi peserta
09.00 – 09.05 WIB Welcoming note dari MC
09.05 – 09.10 WIB Sambutan dari Manajer PKKH UGM, Aisyah Hilal
09.10 – 09.20 WIB Sambutan dari Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Manusia dan Aset, Prof. Dr. Ir. Budi Santoso Wignyosukarto, Dip.HE
09.20 – 09.35 WIB Keynote Speech: Goenawan Mohammad
09.35 – 09.50 WIB Tea/coffe break + snack
09.50 – 11.50 WIB Kritik Sastra dan Kolonialisme (1910-1945)
Penyaji: Faruk HT, Moderator: Narudin
11.50 – 12.50 WIB Break & makan siang
12.50 – 14.50 WIB Kritik Sastra dan Suasana Konflik Ideologis (1945 – 1965)
Penyaji: Muhidin M Dahlan, Moderator: Wijaya Herlambang
14.50 – 15.10 WIB Tea/coffe break + snack
15.10 – 17.10 WIB Lembaga-Lembaga Sastra, Kritik, dan Politik
Penyaji: Wijaya Herlambang, Moderator: Hasan Basri
17.10 – 17.25 WIB Tea/coffe break + snack
17.25 – 19.25 WIB Sastra Bertendens dan Estetisme
Penyaji: Narudin, Moderator: Retno D. Iswandari
Hari Kedua. Rabu, 25 November 2015  
08.50 – 09.00 WIB Registrasi peserta
09.00 – 09.15 WIB Keynote Speech: Katrin Bandel
09.15 – 09.30 WIB Tea/coffe break + snack
09.30 – 11.30 WIB Kelompok Rawamangun dan Ganzheit
Penyaji: Tia Setiadi, Moderator: Muhidin M Dahlan
11.30 – 12.30 WIB Break & makan siang
12.30 – 14.30 WIB Filsafat, Kritik, dan Politik
Penyaji: Muhammad Al-Fayyadl, Moderator: Yoseph Yapi Taum
14.30 – 14.45 WIB Tea/coffe break + snack
14.45 – 16.45 WIB Kapitalisme, Media, dan Kritik Sastra
Penyaji: AS Laksana, Moderator: Achmad Fawaid
16.45 – 17.00 WIB Tea/coffe break + snack
17.00 – 19.00 WIB Kecenderungan Mutakhir Kritik Sastra & Implikasi Politisnya
Penyaji: Yoseph Yapi Taum, Moderator: AS Laksana

 

Catatan:

Yoseph Yapi Taum menggantikan Linda Christanty, sebagaimana telah tercantum dalam publikasi sebelumnya. Linda Christanty batal berpartisipasi dikarenakan kendala yang tidak bisa dipecahkan.

[/tab] [tab title=Latar-Belakang]

 

Latar Belakang

“Kritik”, tulis Terry Eagleton dalam The Ideology of the Aesthetics, “bukan sekadar ungkapan pesan tekstual kepada pembaca, bukan sekadar terjemahan-ulang atas apa yang dipahami dari teks. Ia adalah sebentuk usaha menyingkap apa yang tidak diungkap dalam teks, membongkar prasyarat-prasyarat ideologis pembuatannya.” Setiap pengetahuan-diri dalam teks hampir selalu berupa pengabaian-diri atas ideologinya. Untuk mencapai kondisi ini, suatu kritik (sastra) perlu menyingkap prasejarah ideologis tersebut, menempatkan diri melampaui apa yang tampak secara tekstual menuju pengetahuan saintifik tentang ideologi tersebut.

Di Indonesia, kritik sastra, baik sifatnya akademis dan non-akademis, merupakan suatu praktik. Setiap praktik mengimplikasikan dampak-dampak politis tertentu terhadap pembacanya (audiens, publik) dalam bentuk suatu pembentukan opini tertentu, legitimasi tertentu, relasi kuasa tertentu, dan seterusnya. Kritik sastra di Indonesia tidak berdiri terpisah dari publiknya (sastrawan dan pembaca luas). Kritik sastra di Indonesia, langsung atau tak langsung, merupakan ranah politis di mana kepentingan kritikus, sastrawan, media, pembaca, dan (saat ini) pasar dikontestasikan.

Sejarah sastra Indonesia selalu tak lepas dari politik kritik sastra di dalamnya. Politik tersebut bahkan sudah lahir sebelum Indonesia merdeka. Sejak konflik ideologis Balai Pustaka dan “batjaan liar” Melayu Tionghoa tahun 1920an, kritik sastra itu terus bermunculan tanpa henti, mulai dari soal konflik Pujangga Baru dan komunisme, Lekra vs Manikebu, Rawamangun vs Ghanzheit, polemik sastrawangi, TUK vs Boemipoetera, sastra koran dan sastra pedalaman, hingga penolakan terhadap berbagai festival dan penghargaan sastra, semacam Ubud, KLA, DKJ, dan sebagainya. Politik itu terus terlihat bahkan di lembaga-lembaga dan/atau media-media sastra semacam FLP, Horison, Mastera, dan sebagainya. Semuanya saling berebut, saling umpan ideologi, hingga yang terkini adalah munculnya berbagai kritik sastra terkait kontroversi 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh dan polemik Frankfurt Book Fair 2015.

Dibutuhkan suatu pemetaan teoretis atas semua peristiwa itu. Meski sejarah selalu berlangsung tak linear, terputus-putus, dan tak jarang tumpang tindih, upaya pemetaan dirasa masih dibutuhkan setidaknya untuk para akademisi, peneliti, sastrawan, dan masyarakat umum agar mereka melek bukan hanya pada politik sastra, melainkan juga pada politik dalam kritik yang diproduksi di dalam atau tentangnya. Mereka tidak buta pada sejarah kritik sastranya sendiri. Di sinilah, PKKH mengambil perannya untuk mengundang mereka, Anda semua, menulis paper dalam seminar bertajuk “Politik Kritik Sastra di Indonesia.”

 

Tujuan

  • Memetakan praktik politik dari kritik sastra di Indonesia dari berbagai generasi kritikus atau penulis kritik sastra.
  • Memberikan wacana kritis terhadap publik mengenai keterlibatan kritikus sastra dalam relasi-relasi politis dengan pembacanya (sastrawan dan pembaca luas).

 

Tema dan Subtema

Seminar ini berfokus pada “Politik Kritik Sastra di Indonesia” dengan menyasar beberapa kemungkinan subtema yang bisa dipilih:

[fresh_accordion]
[pane title=Kritik Sastra dan Kolonialisme (1910 – 1945)]  Kritik Sastra dan Kolonialisme (1910 – 1945) 

  • Memperlihatkan kemunculan kritik sastra sejak 1910 yang diawali salah satunya oleh Tirto Adhi Surjo dalam Medan Prijaji (1907-1912) atau Poetri Hindia (1908-1911).
  • Menyajikan model kritik sastra terhadap terbitan berbahasa Melayu oleh percetakaan Tionghoa, yang umumnya mengadopsi cerita-cerita dari Barat abad ke-19, seperti dalam Pengalaman Doenia, Penghidoepan, Loekisan Poedjangga, atau Roman Pergaoelan.
  • Menunjukkan kritik sastra ‘politis’ tahun 1917 melalui Nota over de Volksletuur (Nota Ringkes) terhadap karya-karya yang diklaimnya sebagai ‘batjaan-batjaan liar’.
  • Memperlihatkan pola-pola kritik sastra dengan penolakan estetika politis terhadap Belenggu dan Salah Asuhan.
  • Menyajikan efek kegagalan PKI 1926 terhadap kritik sastra Pujangga Baru tahun 1926, yang melibatkan Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane, Sanusi Pane, J. E. Tatengkeng, dan Sutan Syahrir.
  • Menganalisis implikasi-implikasi politik dari semua kritik sastra sepanjang kolonialisme tersebut (1910 – 1945) terhadap publik/audiens saat ini.

 

[/pane]
[pane title=Kritik Sastra dan Suasana Konflik Ideologis (1945 – 1965)] Kritik Sastra dan Suasana Konflik Ideologis (1945 – 1965) 

  • Menunjukkan kritik sastra yang lahir detik-detik menjelang kemerdekaan, utamanya pada periode Pendudukan Jepang melalui Kuimin Bunka Shidaseko (Kantor Pusat Kebudayaan).
  • Memperlihatkan kritik sastra yang lahir dari modalitas produk kesusastraan, seperti dalam karya-karya Armijn Pane, Idrus, Bakri Siregar, H.B. Jassin.
  • Menyajikan gerakan estetis dan politis dari Chairil Anwar, Rivai Apin, Asrul Sani, Heng Ngatung, dan Baharudin dalam lingkungan kesenian Gelanggang Seniman Merdeka (GSK) pada 1946.
  • Menunjukkan kemunculan seorang kritikus sastra Indonesia, H. B. Jassin, berserta dengan segenap kontroversi dan kritiknya terhadap sang Paus Sastra itu.
  • Memperlihatkan kritik sastra ‘di luar Jassin’ yang dipelopori, misalnya, oleh Asrul Sani dan Darmawijaya.
  • Menyajikan efek keberhasilan PKI di Madiun 1948 terhadap kritik sastra Indonesia saat itu, seperti gesekan-gesekan politik, kemunculan Lekra, terbitnya Surat Kepercayaan Gelanggang, dan ideologi yang terdapat dalam kritik sastra mereka.
  • Menyoroti perang antarkritikus Lekra dan Manikebu dalam pembentukan ideologi estetisnya hingga saat ini.
  • Menunjukkan kritik sastra yang lahir dari ‘perpanjangan tangan’ perang ideologis Lekra – Manikebu, yang diwakili oleh para kritikus semacam Goenawan Mohammad, Arief Budiman, Subagio Sastrowardoyo, Wiratmo Sukito, dan Bun S. Umaryati, hingga kemunculan G30 S/PKI.
  • Menganalisis implikasi-implikasi politik dari semua kritik sastra sepanjang konflik ideologis itu (1945 – 1965) terhadap publik/audiens saat ini.

[/pane]
[pane title=Lembaga-Lembaga Sastra, Kritik dan Politik] Lembaga-Lembaga Sastra, Kritik dan Politik 

  • Memperlihatkan ideologi dari praktik atau kebijakan lembaga-lembaga sastra, baik—yang dianggap—akademis maupun non-akademis, baik di kota maupun desa, baik di pusat maupun pinggiran.
  • Menyajikan produk-produk kritik sastra yang lahir dari lembaga-lembaga sastra tersebut.
  • Menunjukkan bagaimana ‘struktur’ kelembagaan berpengaruh terhadap kritik sastra dan sebaliknya bagaimana ‘praktik’ kritik sastra juga turut memperkuat struktur ideologis lembaga itu.
  • Menunjukkan problem-problem fundamental, baik sosiologis maupun politis, dalam kritik sastra yang lahir dari lembaga-lembaga tertentu, seperti DKJ, Fakultas-Fakultas Sastra, Dinas Kebudayaan, KITLV, Hivos, hingga  komunitas-komunitas sastra di daerah.
  • Memperlihatkan—jika ada—strategi-strategi politis yang dijalankan oleh lembaga-lembaga tersebut melalui kritik sastra yang dihasilkannya.
  • Menganalisis implikasi-implikasi politis dari kritik sastra yang diproduksi oleh lembaga-lembaga itu terhadap publik/audiens saat ini.

[/pane][pane title=Sastra Bertendens dan Estetisme] Sastra Bertendens dan Estetisme 

  • Menyajikan sejarah kemunculan karya sastra bertendens dan estetis.
  • Menunjukkan kritik sastra yang dihasilkan oleh para sastrawan yang dianggap bertendens dan berestetis.
  • Memperlihatkan perdebatan antarkritikus sastra terhadap karya bertendens dan estetis.
  • Memperoblematisasi kritik sastra yang bertendensi estetis dan kritik sastra yang bertendensi politis.
  • Menganalisis implikasi-implikasi politis dari kritik sastra bertendens dan kritik sastra estetis terhadap publik/audiens saat ini.

[/pane]
[pane title=Kelompok Rawamangun vs Ganzheit] Kelompok Rawamangun vs Ganzheit 

  • Memperlihatkan kritik sastra yang dihasilkan oleh kelompok Rawamangun (yang diwakili M. S. Hutagalung dan J. U. Nasution) dan Ganzheit (yang diwakili Goenawan Mohammad dan Arief Budiman) dalam relasinya dengan sistem produksi tertentu saat ini.
  • Menunjukkan genealogi kritik sastra Rawamangun vs Ganzheit pada 1960an itu sebagai kelanjutan dari praktik kritik sastra pada masa-masa sebelumnya.
  • Menyajikan pembacaan filosofis terhadap kritik sastra Rawamangun dan Ganzheit, sekaligus menunjukkan kelemahan-kelemahan fondasional dalam kritik keduanya.
  • Memproblematisasi batas-batas antara kritik sastra Rawamangun vs Ganzheit dan relevansinya terhadap praktik kritik sastra kontemporer.
  • Menelusuri kemungkinan kritik alternatif yang dapat mengkritik kedua kelompok itu tanpa terjebak pada keduanya.
  • Menganalisis implikasi-implikasi politis dari kritik sastra yang diproduksi oleh aliran Rawamangun dan Ganzheit terhadap publik/audiens saat ini.

[/pane]
[pane title=Filsafat, Kritik dan Politik] Filsafat, Kritik dan Politik–          Menunjukkan fondasi filosofis yang digunakan dalam kritik sastra dan implikasi politiknya terhadap pembaca.

  • Memperlihatkan kesalahkaprahan, logical fallacy, dalam fondasi filosofis kritik sastra tertentu dan implikasinya terhadap pembaca.
  • Menyajikan konsistensi dan inkonsistensi, kontinuitas dan diskontinuitas, dalam berbagai produk kritik sastra yang dihasilkan oleh kritikus tertentu.
  • Menggarisbawahi relevan dan tidak-relevannya pembacaan tekstual-ideologis dan/atau pembacaan tekstual-biografis dalam produk kritik sastra.
  • Memperlihatkan problem ‘filosofis’ dan/atau ‘praktis’ dalam berbagai metode filosofis kritik sastra yang diproduksi di Indonesia, seperti strukturalisme, pascakolonialisme, semiotika, feminisme, pascastrukturalisme, dan seterusnya.
  • Menganalisis implikasi-implikasi politik dari fondasi filosofis dari satu atau beberapa kritik sastra tersebut terhadap publik/audiens saat ini.

[/pane]
[spane title=Kapitalisme, Media dan Kritik Sastra] Kapitalisme, Media, dan Kritik Sastra 

  • Memperlihatkan relasi ideologis antara kritik sastra dan media massa.
  • Menunjukkan metodologi yang digunakan dalam berbagai produk kritik sastra seturut dengan kontrol produksinya di media massa.
  • Membongkar jejaring modal dalam produksi kritik sastra di berbagai “media sastra”, seperti Horison, Mastera, jurnal-jurnal sastra,  maupun “media non-sastra”, seperti Kompas, Media Indonesia, dan seterusnya.
  • Menyajikan genealogi historis efek kapitalisme terhadap kritik sastra dalam media-media sastra masa lalu, seperti Pandji Poestaka, Siasat, Poejangga Baru, Medan Prijaji, dan efek politisnya terhadap produk kritik sastra kontemporer.
  • Menyoroti kemunculan kritik sastra dalam media-media alternatif, kolektif, atau kooperasi, baik d dunia cyber maupun cetakan, dan ideologi yang dibawa oleh media-media tersebut.
  • Memperlihatkan kompleksitas hubungan antara kapitalisme dan kritik sastra dalam media-media tersebut.
  • Menganalisis implikasi-implikasi politis dari kritik sastra yang diproduksi media-media tersebut dan dipengaruhi oleh relasi kapital di media-media itu sendiri terhadap publik/audiens saat ini.

[/pane]
[pane title=Kecenderungan Mutakhir Politik Sastra dan Implikasi Politiknya]  Kecenderungan Mutakhir Politik Sastra dan Implikasi Politiknya 

  • Menunjukkan beberapa perkembangan mutakhir dalam politik sastra,seperti kontroversi 33 Tokoh Sastra Paling Berpengaruh dan polemik Frankfurt Book Fair 2015, serta produk kritik sastra yang dilahirkannya.
  • Memperlihatkan kemungkinan hubungan genealogis politik sastra kontemporer dengan politik sastra pada masa lalu, serta apa yang membedakan dan menyamakan kecenderungan atau praksis kritik sastra masa lalu dan masa kini dalam konteks politik tersebut.
  • Menunjukkan beberapa kritik sastra yang mendukung dan menolak politik sastra tertentu, serta ideologi yang dimiliki oleh masing-masing kritikus.
  • Menganalisis implikasi-implikasi politis dari kritik sastra tersebut terhadap publik/audiens saat ini.

[/pane][/fresh_accordion]

TOR untuk masing-masing subtema bisa dilihat selengkapnya berikut ini. TOR ini hanyalah gambaran yang masih mentah. Pembicara dipersilakan untuk melampaui atau mengeksplorasinya seluas mungkin.

[/tab] [tab title=Registrasi]
 

 

Registrasi

  • Peserta yang ingin mengikuti seminar ini dikenakan biaya sebagai berikut:
  • Dosen/pengajar                 =    Rp 200.000,-
  • Umum/non-mahasiswa =   Rp 100.000,-
  • Mahasiswa                             =   Rp 80.000,-
  • Fasilitas:
  • Satu eksemplar buku prosiding
  • Sertifikat
  • Makan siang per hari
  • Tiga kali coffe/tea + snack (pagi, siang, sore)
  • Biaya pendaftaran dibayarkan melalui transfer ke rekening:

Bank Mandiri

KCP Magister Manajemen UGM
Nomor rekening: 137-00-1124418-9
A.n. PKKH UGM

 

Setelah melakukan pembayaran, PKKH akan membuatkan lembar tanda terima kepada Pendaftar. Pendaftar diharap menyerahkan atau mengirimkan bukti transfer ke salah satu dua opsi berikut:

  1. Bukti fisik transfer bank ke Sekretariat PKKH UGM, pada jam kerja (Senin-Kamis, pukul 08.00-15.30 WIB dan Jumat, pukul 08.00-16.00 WIB);
  2. Dalam bentuk foto dikirim via email/WA ke narahubung, sebagaimana tercantum di bawah.
  • Peserta hanya akan dibatasi maksimal 200 orang
  • Bagi mereka yang tidak bisa mengikuti acara ini, panitia akan mengupload sebagian dan/atau semua sesi di sosial media atau Youtube beberapa hari setelah pelaksanaan.

 

Sekretariat

Gedung Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri (PKKH)

Jl. Pancasila Kampus Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta

Telp/Fax. : (0274) 557317

E: pkkh@ugm.ac.id

W: www.pkkh.ugm.ac.id

t: @PKKH_UGM

f: https://www.facebook.com/pkkh.koesnadihardjosoemantri

Narahubung:  Achmad Fawaid (089637192567 [WA]  / 087866108281)

Aisyah Hilal (08122731573 WA)

[/tab]
[/fresh_tabs]

1234
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri
Kampus Universitas Gadjah Mada
Jl. Pancasila No. 1, Bulaksumur, Sleman
D.I. Yogyakarta 55281, Indonesia
Email : pkkh@ugm.ac.id
Telp : +62 (274) 557317, +62 (274) 557317

© 2017 PKKH Universitas Gadjah Mada

AksesKontak

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY